Kami merintis jual busana muslim dan buku sejak tahun 1996, Dulu pada kurun waktu tersebut masih jarang toko yang menjual sekaligus tempat kullakan,Diantaranya dipengarui masih sedikitnya orang yang membuat.Maka saat itu kalau ingin beli gamis ,buku bermanhaj salaf melalui waktu lama.Dulu belum ada alat-alat secanggih zaman sekarang,yang menjadi alat pesanan saat itu adalah surat pos dan telegram.
Jumat, 28 September 2012
GAMIS
Gamis,begitu orang menyebutnya.Dengan tersusun 5 huruf seolah berbagai kalangan tidak asing lagi.Di sisi sana nama GAMIS ,ada yang masih asing bisa jadi disebabkan masih menjadi barang asing yang tidak setiap orang akan menerima.
Lain lagi bila yang bicara para ibu dan remaja muslimah yang baru senang-senangnya mengenal dakwah.Menurut mrk gamis itu JUBAH WANITA yang ada hiasan bordir di bagian dada.Juga bisa pakai hal itu
Kamis, 27 September 2012
TUNTUNAN BERQURBAN
Oleh: Abul Harits Himawan
1. I. Hukum Berkurban
Hukum berkurban -menurut pendapat yang kuat- adalah wajib setiap tahun bagi orang yang baligh, mukim (tidak mengadakan perjalanan jauh), serta memiliki keluasan dan kelebihan dari kebutuhan pokoknya. Namun bilamana dia merupakan anggota keluarga, maka satu hewan kurban sudah mencukupi satu keluarga. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya hal tersebut:
* Perintah Allah dalam surat Al-Kautsar 2 (artinya), “Maka dirikanlah sholat untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban!” Asal dari perintah Allah adalah menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan tersebut.
* Hadits dari sahabat Mikhnaf bin Sulaim (artinya), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya wajib bagi tiap keluarga penghuni rumah untuk menyembelih hewan kurban setiap tahun.’” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani).
* Dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda (artinya), “Barang siapa memiliki keluasan (harta) lantas tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani).
Adapun orang yang mengatakan kurban adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan), maka ini adalah pendapat yang lemah -Allahu a’lam-. Dalil mereka adalah sebuah hadits yang mengaitkan kurban dengan kehendak seseorang. Karena hadits tersebut masih global dan begitu banyak kewajiban pada agama ini yang dikaitkan dengan kehendak seseorang, seperti firman Allah (artinya), “Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) silakan ia kafir.” [Al-Kahfi: 29] Sedangkan iman itu adalah suatu kewajiban dan kekafiran adalah haram.
Dan kurban ini hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki kemampuan dan keluasan harta.
1. II. Ciri-Ciri Binatang Kurban Yang Diperbolehkan
Binatang kurban harus berupa hewan ternak berupa unta, sapi, dan kambing. Sehingga, tidak sah berkurban dengan rusa, kuda, jenis burung, sapi liar atau binatang halal lainnya. Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al Hajj:34 (artinya) “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka.”
Mengenai umurnya, untuk kambing domba (kambing gembel) minimalnya jadza’ah. Jika berupa kambing kacang (kambing jawa), sapi, atau onta maka minimalnya musinnah. Jika belum terpenuhi syarat umur ini, maka hewan sembelihan tersebut tidak sah.
Syarat sah hewan kurban yang lain adalah tidak adanya cacat pada hewan tersebut. Sebagiannya disepakati para ulama, sebagiannya lagi masih diperselisihkan. Adapun yang disepakati, di antaranya adalah: rusak matanya dengan kerusakan yang jelas atau memutih; nampak jelas sakitnya, seperti kudis, terjangkiti wabah; kehilangan nafsu makan; cepat lelah dan yang semisalnya; hewan yang pincang dan nampak kepincangannya (dengan patokan, hewan ini selalu tertinggal dari temannya, adapun jika masih bisa berjalan normal bersama temannya maka tidak mengapa); yang sudah terlalu tua, kurus, dan tidak memiliki sumsum. (berdasarkan H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh An-Nawawi).
Adapun cacat yang diperselisihkan para ulama antara lain; hewan yang buta kedua matanya namun tidak jelas kebutaannya; hewan yang pingsan -hewan ini tidak sah selama masih pingsan karena termasuk yang jelas sakitnya-; kambing yang membesar perutnya dan tidak bisa buang angin -hewan ini termasuk yang jelas sakitnya sebelum dia buang air besar-. Penyakit-penyakit ini -menurut pendapat yang kuat- adalah termasuk dari cacat yang menghalangi keabsahan hewan kurban. Allahu a’lam.
Adapun cacat yang tidak berpengaruh pada keabsahan hewan kurban adalah: hewan yang ompong giginya; hewan yang kering kantong susunya (tidak bisa mengeluarkan air susu); hewan yang tidak berekor baik sejak lahir atau dipotong; hewan yang tidak bertanduk; dan hewan yang dikebiri. Cacat tersebut di atas tidak berpengaruh pada keabsahan karena tidak ada dalil yang melarang. Walaupun ada dalilnya, maka dalilnya dho’if (lemah).
Diperbolehkan pula berkurban dengan yang betina. Rasulullah telah bersabda (artinya), “…tidak apa-apa bagi kalian yang jantan atau betina.” (H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa`i. Dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani). Walaupun sabda Nabi ini berkaitan dengan masalah aqiqah, tetapi mayoritas hukum kurban sama dengan hukum aqiqah. Karena, keduanya sama-sama ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan ini merupakan kesepakatan para ulama.
Urutan binatang kurban yang paling utama adalah kambing domba, kambing jawa, sepertujuh sapi, lalu sepersepuluh atau sepertujuh onta (terdapat silang pendapat di antara para ulama mengenai onta cukup untuk tujuh orang atau sepuluh orang). Hewan jantan lebih utama dari yang betina karena daging yang jantan lebih bagus. Hal ini didasarkan pada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menyembelih 2 ekor domba (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Adapun sapi, karena beliau berkurban untuk istri-istri beliau pada Haji Wada’ dengan sapi (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Bagi para jama’ah haji, maka yang utama berkurban dengan onta, sebagaimana Nabi telah berkurban untuk diri beliau sendiri pada haji Wada’ 33 onta (H.R. Muslim). Akan tetapi, jika tidak mampu maka dengan sapi atau kambing.
III. Jumlah Binatang Untuk Kurban
Mengenai jumlah binatang untuk kurban, maka 1 ekor kambing mencukupi satu keluarga, walaupun beranggotakan banyak orang. Namun, jumlah ini tidak mencukupi beberapa keluarga yang berbeda rumah walaupun jumlah mereka sedikit. Akan tetapi, apabila seseorang atau sebuah keluarga menginginkan untuk menyembelih lebih dari satu, maka ini diperbolehkan, bahkan dianjurkan.
Diperbolehkan pula untuk berserikat dalam onta atau sapi. 1 onta untuk 10 orang (ini adalah pendapat terkuat -Allahu a’lam- ulama yang lain berpendapat bahwa onta cukup untuk 7 orang saja); dan 1 sapi untuk 7 orang. (berdasarkan H.R. Ahmad dan At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas; dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani). Baik semuanya berniat untuk kurban atau sebagiannya hanya meniatkan untuk sedekah fakir miskin.
IV. Waktu Berkurban
Waktu berkurban dimulai sejak pagi hari ‘Idul Adha setelah selesai sholat ‘Id dan khutbahnya. Barang siapa menyembelih sebelumnya, maka sembelihannya batal dan diperintahkan untuk mengulanginya dengan hewan yang lain. (berdasarkan H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir).
Waktu menyembelih ini berakhir hingga berakhirnya hari tasyriq (13 Dzulhijjah) baik pada siang hari atau malam harinya, dengan dasar hadits Nabi “Setiap hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih.” (H.R. Abu Dawud).
V. Tempat Berkurban
Disunnahkan untuk menyembelih di tempat sholat ‘Id (tanah lapang) (berdasarkan H.R. Al-Bukhari). Diperbolehkan pula menyembelih di tempat tinggal masing-masing atau di tempat yang lain sebagaimana dalam hadits ‘A`isyah riwayat Muslim. Adapun bagi para haji yang sedang berada di Mina atau Mekah, maka boleh menyembelih di mana saja dari wilayah Mekah dan Mina. (berdasarkan H.R. Muslim dan Ahmad).
VI. Mewakilkan Dalam Menyembelih Kurban
Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk menyembelih hewan kurban dengan tangannya sendiri (berdasarkan H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas). Tapi, diperbolehkan juga untuk mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihnya (berdasarkan H.R. Muslim dari sahabat Jabir). Dengan catatan, seyogyanya dia memilih orang yang fakih dan berilmu, sehingga orang tersebut menyembelihnya dengan benar dan terpenuhi syarat-syarat serta sunnah-sunnahnya.
Dimakruhkan untuk mewakilkannya kepada orang kafir ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), meski hal itu tetap sah. Karena, kurban adalah qurbah (mendekatkan diri) sedangkan orang kafir bukanlah orang yang pantas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
VII. Adab-Adab Menyembelih Hewan Kurban
* Hewan kurban dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut: membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan; orang yang menyembelih adalah orang yang berakal, orang gila tidak sah sembelihannya karena tidak memiliki niat pada dirinya; orang yang menyembelih harus seorang muslim atau ahli kitab (dengan syarat tetap dibacakan basmalah); terpancarnya darah dengan menggunakan alat yang tajam, sehingga dilarang menyembelih dengan kuku, gigi, kayu, tulang, dll; penyembelihan harus memutus dua urat tebal yang meliputi tenggorokan -ini batas minimalnya, akan lebih utama lagi jika keempat saluran (2 urat darah tebal, 1 saluran makan dan minum, 1 saluran pernafasan) yang ada di tenggorokan terputus semua-.
* Berbuat baik terhadap hewan kurban. Yaitu, dengan memilih alat yang tajam, jangan mengasah dan memperlihatkan pisau di depan hewan kurban; jangan menyembelihnya di hadapan hewan yang lain; serta menggiringnya dengan lembut dan tidak kasar.
* Menghadap kiblat seraya merebahkan hewan tersebut dengan lembut pada sisi kirinya dan meletakkan kaki kanan pada rusuk leher sebelah kanannya agar memudahkan yang menyembelih untuk memegang pisau dengan tangan kanan dan memegang kepala atau lehernya dengan tangan kirinya. Juga, supaya hewan lebih tenang dan tidak meronta hebat.
* Adapun dalam menyembelih onta, maka yang paling utama dengan cara nahr. Yaitu, onta diberdirikan dan diikat kaki depan sebelah kiri, lalu ditusuk bagian wahdah (urat) antara pangkal leher dan dada. Akan tetapi, disembelih juga tetap sah. Dimakruhkan untuk memotong lehernya sebelum nyawanya hilang.
* Disunahkan untuk bertakbir dan berdoa ketika menyembelih. Misalnya, dengan mengucapkan
* ?????? ????? ??????? ????????. ??????????? ????? ?????? ??????. ??????????? ????????? ??????? atau ??????????? ????????? ????…?????? ???…
* (Bismillah allahu akbar, ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ya Allah terimalah dariku, atau Ya Allah terimalah dari…-menyebutkan namanya- dan dari keluarga…-menyebutkan namanya).
* Mengucapkan niat secara keras, membaca sholawat Nabi ketika menyembelih, berwudhu sebelum menyembelih, dan melumuri kening dengan darah hewan kurban setelah selesai penyembelihan adalah suatu kebid’ahan.
VIII. Bagaimana Seorang Muslim Memanfaatkan Sembelihannya
Orang yang berkurban disunahkan untuk makan dari sebagian daging kurbannya, menyedekahkannya untuk fakir miskin dan orang yang memintanya. Diperbolehkan pula untuk menyimpan atau menghadiahkannya untuk teman, saudara walaupun kaya. Dan diperbolehkan untuk membagikannya dalam keadaan matang atau mentah. Dilarang baginya untuk memberikannya kepada tukang jagalnya sebagai upah.
Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun boleh untuk disedekahkan atau dimanfaatkan. Adapun jika kulit tersebut disedekahkan kepada seseorang, kemudian orang tersebut menjualnya, maka tidak mengapa. Begitu pula jika orang yang berkurban tersebut memanfaatkan kulit untuk selain dijual, seperti disamak untuk alas, dibuat sepatu atau sandal dll.
IX. Hukum Seputar Orang Yang Berkurban
Disyari’atkan bagi orang yang berkurban untuk tidak memotong dan mencukur rambut, kulit, dan kukunya sedikit pun sejak masuk bulan Dzulhijjah hingga hewan kurbannya disembelih. (H.R. Muslim dari Ummu Salamah).
Namun, apabila dia memotong kuku, kulit, atau rambutnya, kurbannya tetap sah. Jika disebabkan karena lupa dan tidak sengaja, maka dia tidak berdosa. Tetapi, jika dilakukan dengan sengaja, maka dia berdosa, kecuali tatkala terjadi sesuatu yang mengharuskannya untuk mengambil kulit, kuku, atau rambutnya, seperti luka di kepala yang mengharuskan untuk mencukur rambut dan seterusnya. Adapun keluarga dan orang yang mewakili penyembelihan hewan kurban, mereka tidak terkena larangan tersebut.
Diperbolehkan memanfaatkan hewan kurban sebelum disembelih selama tidak menyakitinya, seperti; menunggangi, meminum susunya, mencukur bulunya jika terlalu tebal atau di badannya ada luka dll. Allahu a’lam.
Disadur dari majalah TASFIAH.
Rabu, 26 September 2012
Tata Cara Menyembelih Hewan Qurban
Tata Cara Menyembelih Hewan Qurban
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 036
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdullah Muhammad Afifuddin)
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum dan adab seputar penyembelihan hewan, baik itu qurban ataupun yang lain.
I. Hewan sembelihan dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a. Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini merupakan syarat yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih, maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121)
Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan hewan qurban. Dasarnya adalah hadits Anas z riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim (no. 1966), bahwa Nabi n berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk:
وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
“Beliau membaca basmalah dan bertakbir.”
b. Yang menyembelih adalah orang yang berakal. Adapun orang gila tidak sah sembelihannya walaupun membaca basmalah, sebab tidak ada niat dan kehendak pada dirinya, dan dia termasuk yang diangkat pena takdir darinya.
c. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Untuk muslim, permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman Allah l:
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5)
Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf.
Pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama, sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara Islam.
Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah l, maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu a’lam.
d. Terpancarnya darah
Dan ini akan terwujud dengan dua ketentuan:
1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij z, dari Nabi n, beliau bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968)
Juga perintah Rasulullah n kepada Aisyah x ketika hendak menyembelih hewan qurban:
يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ
“Wahai Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967)
2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut.
Faedah
Pada bagian leher hewan ada 4 hal:
1-2. Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan
3. Al-Hulqum yaitu tempat pernafasan.
4. Al-Mari`, yaitu tempat makanan dan minuman.
Rincian hukumnya terkait dengan penyembelihan adalah:
- Bila terputus semua maka itu lebih afdhal.
- Bila terputus al-wadjan dan al-hulqum maka sah.
- Bila terputus al-wadjan dan al-mari` maka sah.
- Bila terputus al-wadjan saja maka sah.
- Bila terputus al-hulqum dan al-mari`, terjadi perbedaan pendapat. Yang rajih adalah tidak sah.
- Bila terputus al-hulqum saja maka tidak sah.
- Bila terputus al-mari` saja maka tidak sah.
- Bila terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh Bulugh, 6/52-53)
II. Merebahkan hewan tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak meronta hebat dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik z, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah n:
وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits Aisyah x:
فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ
“Lalu beliau rebahkan kambing tersebut kemudian menyembelihnya.”
III. Disunnahkan bertakbir ketika hendak menyembelih qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas z di atas, dan diucapkan setelah basmalah.
IV. Bila dia mengucapkan:
بِسْمِكَ اللَّهُمَّ أَذْبَحُ
“Dengan nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”, maka sah, karena sama dengan basmalah.
V. Bila dia menyebut nama-nama Allah l selain Allah, maka hukumnya dirinci.
a. Bila nama tersebut khusus bagi Allah l dan tidak boleh untuk makhluk, seperti Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq, Ar-Razzaq, maka sah.
b. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh makhluk, seperti Al-‘Aziz, Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah.
VI. Tidak disyariatkan bershalawat kepada Nabi n ketika menyembelih, sebab tidak ada perintah dan contohnya dari beliau n maupun para sahabatnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/408)
VII. Berwudhu sebelum menyembelih qurban adalah kebid’ahan, sebab tidak ada contohnya dari Rasulullah n dan salaf.
Namun bila hal tersebut terjadi, maka sembelihannya sah dan halal dimakan, selama terpenuhi ketentuan-ketentuan di atas.
VIII. Diperbolehkan berdoa kepada Allah l agar sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan Rasulullah n, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” (HR. Muslim no. 1967, dari Aisyah x)
IX. Tidak diperbolehkan melafadzkan niat, sebab tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama. Namun dia boleh mengucapkan:
اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ فُلَانِ
“Ya Allah, sembelihan ini dari Fulan.”
Dan ucapan tersebut tidak termasuk melafadzkan niat.
X. Yang afdhal adalah men-dzabh (menyembelih) sapi dan kambing. Adapun unta maka yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu disembelih dalam keadaan berdiri dan terikat tangan unta yang sebelah kiri, lalu ditusuk di bagian wahdah antara pangkal leher dan dada.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Jubair, dia berkata: Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar c mendatangi seseorang yang menambatkan untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum. Beliau c berkata:
ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ مُحَمَّدٍ n
“Bangkitkan untamu dalam keadaan berdiri dan terikat, (ini) adalah Sunnah Muhammad n.” (HR. Al-Bukhari no. 1713 dan Muslim no. 1320/358)
Bila terjadi sebaliknya, yakni me-nahr kambing dan sapi serta men-dzabh unta, maka sah dan halal dimakan menurut pendapat jumhur. Sebab tidak keluar dari tempat penyembelihannya.
XI. Tidak disyaratkan menghadapkan hewan ke kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan.
Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu ‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2795) dan Ibnu Majah (no. 3121).
XII. Termasuk kebid’ahan adalah melumuri jidat dengan darah hewan qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada contohnya dari Nabi n dan para salaf. (Fatwa Al-Lajnah, 11/432-433, no. fatwa 6667)
Hukum-hukum Seputar Qurban
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya:
1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan dua hal:
a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:
1. Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah x, dia berkata:
فَتَلْتُ قَلَائِدَ بُدْنِ رَسُولِ اللهِ n بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)
Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut telah di-ta’yin sebagai hewan qurban:
2) Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, dia berkata: Rasulullah n melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda:
ارْكَبْهَا
“Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)
Juga datang dari Anas bin Malik z (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah c (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir z sebagai berikut:
ارْكَبْهَا بِالْـمَعْرُوفِ إِذَا أُلْـجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا
“Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”
3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti:
a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)
4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.
5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.
Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib z, dia berkata:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ n أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُـحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالـَهَا عَلَى الْـمَسَاكِينِ وَلَا أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا
“Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)
7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci:
- Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya maka dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:
ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.”
Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya.
11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Hukum-hukum dan Adab-adab Yang Terkait dengan Orang yang Berqurban
1. Syariat berqurban adalah umum, mencakup lelaki, wanita, yang telah berkeluarga, lajang dari kalangan kaum muslimin, karena dalil-dalil yang ada adalah umum.
2. Diperbolehkan berqurban dari harta anak yatim bila secara kebiasaan mereka menghendakinya. Artinya, bila tidak disembelihkan qurban, mereka akan bersedih tidak bisa makan daging qurban sebagaimana anak-anak sebayanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/427)
3. Diperbolehkan bagi seseorang berhutang untuk berqurban bila dia mampu untuk membayarnya. Sebab berqurban adalah sunnah dan upaya menghidupkan syi’ar Islam. (Syarh Bulugh, 6/84, bagian catatan kaki)
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai fatwa tentang diperbolehkannya menyembelih qurban walaupun belum dibayar harganya. (Fatawa Al-Lajnah, 11/411 no. fatwa 11698)
4. Dipersyaratkan hewan tersebut adalah miliknya dengan cara membeli atau yang lainnya. Adapun bila hewan tersebut hasil curian atau ghashab lalu dia sembelih sebagai qurbannya, maka tidak sah.
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu Dzat yang baik tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no. 1015 dari Abu Hurairah z)
Begitu pula bila dia menyembelih hewan orang lain untuk dirinya, seperti hewan gadaian, maka tidak sah.
5. Bila dia mati setelah men-ta’yin hewan qurbannya, maka hewan tersebut tidak boleh dijual untuk menutupi hutangnya. Namun hewan tersebut tetap disembelih oleh ahli warisnya.
6. Disunnahkan baginya untuk menyembelih qurban dengan tangannya sendiri dan diperbolehkan bagi dia untuk mewakilkannya. Keduanya pernah dikerjakan Rasulullah n sebagaimana hadits:
ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
“Rasulullah menyembelih kedua (kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits ‘Ali bin Abi Thalib z yang telah lewat, di mana beliau diperintah oleh Rasulullah n untuk menangani unta-untanya.
7. Disyariatkan bagi orang yang berqurban bila telah masuk bulan Dzulhijjah untuk tidak mengambil rambut dan kukunya hingga hewan qurbannya disembelih.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah x, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Apabila telah masuk 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berqurban, maka janganlah dia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977)
Dalam lafadz lain:
وَلَا بَشَرَتِهِ
“Tidak pula kulitnya.”
Larangan dalam hadits ini ditujukan kepada pihak yang berqurban, bukan pada hewannya. Sebab mengambil bulu hewan tersebut untuk kemanfaatannya diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada hadits di atas kembali kepada orang yang hendak berqurban. Larangan dalam hadits ini ditujukan khusus untuk orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau pihak yang disertakan, tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya. Sebab, yang disebut dalam hadits ini adalah yang berqurban saja.
- Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum hewannya disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan sengaja. Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa.
- Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari pertama Dzulhijjah, maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin qurbannya.
- Orang yang mewakili penyembelihan hewan qurban orang lain, tidak terkena larangan di atas.
- Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang mengharuskan dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
8. Disyariatkan untuk memakan sebagian dari hewan qurban tersebut. Dalilnya adalah firman Allah l:
“Maka makanlah sebagian darinya.” (Al-Hajj: 28)
Juga tindakan Rasulullah n yang memakan sebagian dari hewan qurbannya.
9. Diperbolehkan menyimpan daging qurban tersebut walau lebih dari tiga hari. Beliau n bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُـحُومِ الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah (simpanlah) semau kalian.” (HR. Muslim no. 1977 dari Buraidah z)
10. Disyariatkan untuk menyedekahkan sebagian dari hewan tersebut kepada fakir miskin. Allah l berfirman:
“Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28)
Juga firman-Nya:
“Beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)
Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ الْفَقِيرَ adalah orang faqir yang menjaga kehormatan dirinya tidak mengemis padahal dia sangat butuh. Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid.
Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ adalah orang yang meminta-minta daging qurban. Sedangkan الْـمُعْتَرَّ adalah orang yang tidak meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari t.
11. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kaya sebagai hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di kalangan muslimin.
12. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kafir sebagai hadiah dan upaya melembutkan hati. Sebab qurban adalah seperti shadaqah sunnah yang dapat diberikan kepada orang kafir. Adapun shadaqah wajib seperti zakat, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir.
Dan yang dimaksud dengan kafir disini adalah selain kafir harbi. Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa tentang hal ini (11/424-425, no. 1997).
13. Diperbolehkan membagikan daging qurban dalam keadaan mentah ataupun masak. Diperbolehkan pula mematahkan tulang hewan tersebut.
Demikian beberapa hukum dan adab terkait dengan qurban yang dapat dipaparkan pada lembar majalah ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab.
Di sadur dari majalah asy syariah edisi 036.
Rabu, 19 September 2012
HUKUM STERILISASI
Sterilisasi
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 051
Apa pendapat anda terhadap seorang suami yang menyetujui dilakukannya sterilisasi atau semacamnya terhadap istrinya di rumah sakit guna mencegah kehamilan?
Jawab:
Al-Imam Al-Muhaddits Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i –semoga Allah l merahmati beliau– menjawab, “Hal itu tidak dibolehkan, karena Rasulullah n bersabda:
تَناَكَحُوا تَكاَثَرُوا فَإِنِّي مُبَاهٍ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Menikahlah kalian dan perbanyaklah keturunan kalian, karena sesungguhnya aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain pada hari kiamat kelak.”
Nabi n pernah berdoa kepada Allah l untuk sahabat beliau Anas bin Malik z agar Allah l membanyakkan harta serta anak keturunan Anas.
Disamping itu semua, seseorang terkadang berhadapan dengan takdir Allah l.1
Bila mau tidak mau harus menunda kehamilan istri maka di sana ada satu perkara yaitu permasalahan ‘azal2. Dibolehkan bagi seorang suami menggauli istrinya dengan melakukan ‘azal. Adapun obat-obatan, mengangkat rahim, atau perkara yang lainnya, tidaklah diperbolehkan.
Kemudian, di balik semua ini perlu kita sadari bahwa musuh-musuh Islam menghias-hiasi di hadapan kita perbuatan yang menyelisihi agama kita. Seandainya mereka mampu untuk menghasut manusia, niscaya mereka akan melakukannya. Bahkan mereka telah berupaya melakukannya. Sekarang saya bertanya kepada anda semua, wahai sekalian saudaraku. Ada orang di zaman ini memiliki sepuluh anak. Lalu apakah kalian lihat Allah l menyia-nyiakan dan menelantarkannya, atau malah Allah l membukakan rezeki untuknya dari arah yang tidak diduganya?
Jika seseorang tidak menghendaki istrinya hamil karena alasan dunia, takut tidak bisa memberi makan atau menghidupi si anak, maka sungguh ia telah salah. Karena Rabbul Izzah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
“Tidak ada satu makhluk melata pun di muka bumi melainkan hanya Allah lah yang menanggung rezekinya.” (Hud: 6)
Juga firman-Nya:
“Berapa banyak hewan yang tidak dapat membawa/mengurus rezekinya sendiri, Allah lah yang memberikan rezeki kepadanya dan kepada kalian.” (Al-’Ankabut: 60)
Bila alasannya karena mengkhawatirkan mudarat dapat menimpa si istri bila ia mengandung, maka suami dapat melakukan ‘azal. Adapun memakai cara-cara yang datang atau berasal dari musuh-musuh Islam, baik berupa obat-obatan pencegah kehamilan atau selainnya, maka ini tidak kami sarankan. ‘Azal itu makruh akan tetapi Rasulullah n mengizinkan sahabatnya untuk melakukannya ketika mereka meminta perkenan beliau. Beliau n bersabda:
مَا مِنْ نَسْمَةٍ إِلاَّ وَهُوَ خَالِقُهَا إِلاَّ وَهِيَ كَائِنَةٌ
“Tidak ada satu jiwa pun melainkan Allah yang menciptakannya. Bila Allah menghendaki menciptakannya niscaya jiwa tersebut akan terwujud.”
Jabir bin Abdillah c menyatakan:
كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Kami dulunya melakukan ‘azal sementara Al-Qur’an masih turun (wahyu belum terputus, pen.).”
Maka Nabi n memberikan rukhshah/keringanan untuk melakukan ‘azal. Walhamdulillahi Rabbil Alamin.” (Ijabatus Sa’il ‘ala Ahammil Masa’il, hal. 467-468)
Majalah AsySyariah Edisi 051
STELAN JBH JLB CDR RIT BURDAH
Antunna tidak asing lagi dengan stelan jubah cadar rit burdah,tapi kali ini kami membuat dengan rapi,cantik,enak dipakai.Stelan ini dibuat dengan benang obras yang sesuai warna kain.Ada ukuran biasa dan ALL SIZE,dengan rincian ukuran S,M,L,XL.Antunna bisa memesan jenis kain,ada SILFONE,WOLPICH,CASANDRA,SUTRACINA,dll.Harga juga bervariasi sesuai ukuran.Kami juga menjual kainnya.Siap kirim kemana yang memesan insyaallah.
Jumat, 07 September 2012
Nasehat Untuk para Pendidik (Pengajar)
Sesungguhnya pentingnya peran pengasuh
(pendidik) sangat besar sekali, amalnya termasuk amal-amal yang paling
mulia apabila di tekuni dan ikhlas karena allah dan mengajar para siswa
dengan pengajaran islami yang benar.
Pengasuh laki-laki dan perempuan
mencangkup guru, pengajar dan mencangkup pula bapak, ibu serta setiap
orang yang mengurusi anak-anak. Sehingga guru adalah pengasuh
generasi-generasi berikutnya. Kebaikan dan keburukan tergantung padanya.
Apabila guru benar-benar melaksanakan
kewajiban dalam pengajaran, mengikhlaskan amalnya dan mengarahkan para
pelajar kepada agama, akhlaq, dan pengajaran yang baik. Maka, akan
bahagia para pelajar dan pengajar di dunia dan akhirat. Rosulullah
Sholollohu’alaiwassalam bersabda kepada anak paman beliau , Ali :
“Demi allah, seandainya alllah memberi
hidayah kepada seorang melalui perantaramu. Itu lebih baik bagimu
daripada (mendapat) onta merah” [Muttafaqun’alaih]
Dan apabila seorang pengajar
mengesampingkan kewajibannya, dan mengarahkan para pelajarnya kepada
penyimpangan, asas-asas/prinsip kehancuran, perilaku yang jelek maka
para pelajar akan sengsara. Demikian pula pengajarnya pun menanggung
dosa dan akan di mintai pertanggung jawaban di hadapan allah
Subhanahuwata’ala berdasarkan sabda Rosulullah ;
“Masing-masing kalian adalah pengembala, dan masing-masing kalian bertanggung jawab atas pengembalannya” [Muttafaqun’alaih]
Maka perbaikilah untuk dirimu sendiri,
wahai para pengajar dan pengasuh, sebelum (memperbaiki) yang lain. Dan
kebaikan yang dilakukan anak-anak adalah (akibat) apa yang telah engkau
lakukan, dan kejelekan pada siswa adalah (lanataran) perkara yang kamu
tinggalkan. Sesungguhnya kebaikan perilaku pengasuh dan pengajar serta
bapak adalah seutam-utama pendidikan kepada mereka.
(Dikutip dari Buku ” Kiat Sukses Mendidik Anak” Penerbit Pustaka Al Haura’)
http://www.salafy.or.id/adab/nasehat-untuk-para-pendidik-pengajar/
Tugas dan Kewajiban Pengajar
Sesungguhnya termasuk tugas pengajar
tidaklah hanya mengajarkan ilmu – ilmu saja, bahkan lebih dari itu,
seorang pengajar harus mampu menegakkan pendidikan yang mencakup
pembersihan akidah – akidah dan perilaku yang bertolak belakang dengan
agama islam. Allah berfirman :
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“katankanlah : jika kamu (benar –
benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa – dosamu. Allah Maha pengampun Lagi Maha Penyayang” [
Ali Imran : 31]
Seorang pengajar harus bersifat dengan
sifat – sifat bijaksana, pengajar dan pengarah, selalu berkeinginan
baik, lembut, cinta dan ikhlas. apabila dia diberi walaupun sedikit
harus bersyukur, dan apabila tidak di beri bersabar, dan allah akan
memberikan rizki di dunia dan menulis pahala di akherat.
Ada beberapa kewajiban – kewajiban yang harus dilaksanakan seorang pengajar yaitu ;
1. mengucapkan salam. Seorang pengajar
apabila masuk kelas harus mengatakan assalammu’alaikum yang artinya :
semoga keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah atas kalian. Hal itu
Rasulullah mengatakan :
“ maukah aku tunjukan kalian kepada
sesuatu yang apabila kalian melakukannya kalian akan saling mencintai?
Sebarkan salam di antara kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Dan di sini harus di ingatkan tentang
perkara yang penting, banyak kaum muslimin yang terjatuh ke dalam hal
ini, karena pengaruh adat-adat dan taklid yaitu : para pelajar menyambut
pengajar dengan berdiri, mereka menyangka hal itu termasuk adab yang di
tuntut, dan lambang penghormatan dan pemuliaan kepada pengajar. Mereka
telah salah, tidaklah dinamakan yang menyelisihi syariat itu sebagai
adab kecuali di kamusnya orang – orang yang berpaling dari syariat
Allah karena Anas bin malik mengatakan :
“tidak ada seorang yang lebih mereka
(para sahabat)cintai daripada Rasulullah dan mereka apabila melihat
beliau tidak berdiri untuk beliau, karena mengetahui kebencian beliau
dari hal itu “ [Hadist shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi]
Rasulullah bersabda memperingatkan manusia dari adat berdiri :
“siapa yang suka untuk di sambut
manusia dengan berdiri maka siapkanlah tempat duduknya di neraka [Hadist
shahih diriwayatkan oleh Ahmad]
Dan boleh bagi tuan rumah untuk berdiri
menyambuat tamu-tamunya, atau berdiri untuk memeluk orang yang baru
datang dari safar, karena para sahabat ridhwanullahi’alaihim
melakukanya, dan ini termasuk memuliakan tamu dan mempersilahkan orang
yang baru datang.
2. Termasuk kewajiban seorang pengajar
hendaknya mengajarkan kepada muridnya untuk meminta pertolongan kepada
kepada Allah, dan mengajarkan kepada mereka hadist Ibnu Abbas yaitu
sabda beliau :
“apabila kamu meminta, maka mintalah
kepada Allah, dan apabila kamu memohon pertolongan, maka mohonlah
kepada Allah” [Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan beliau berkata : hasan
shahih].
3. seorang pengajar hendaknya
memperingatkan muridnya dari ke syirikan yaitu memalingkan peribadahan
kepada selain Allah, seperti berdoa kepada para nabi, orang - orang
yang shalih dan selain mereka. Firman allah
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Hai anakku, janganlah kamu
pempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar”[Luqman : 13].
4. Pengajar harus mengajarkan shalat
kepada para muridnya di sekolah, dan membawa mereka ke masjid untuk
shalat berjamaah, mengajarkan adab-adabnya, memulai pelajaran mereka
dengan wudhu dan shalat mulai usia tujuh tahun, berdasarkan perintah
nabi :
“Ajarilah anak – anak kalian shalat
apabila sudah berumur tujuh tahun, pukullah mereka (apabila tidak mau
shalat) ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka”
[Hadist shahih diriwayatkan oleh Al Bazzar, lihat Shahihul Jami’].
5. Wajib atas pengajar untuk mengajarkan tawakkal kepada Allah. Firman Allah :
فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ
“maka bertaqwalah kepada Allah jika kalian orang – orang yang berserah diri” [Yunus : 84]
6. Demikian pula seorang pengajar harus
menanamkan ruh pengorbanan dan jihad di jalan Allah melawan musuh-musuh
Islam dari kalangan orang – orang kafir, Yahudi, maupun atheis. Selain
itu, membangkitkan semangat mereka untuk mengkuti Sahabat – sahabat
Nabi dalam keimanan dan akhlaq – akhlaq para sahabat.
7.Kemudian pengajar harus berbuat
qona’ah ( rasa kecukupan) terhadap para pelajar bahwasanya Arab adalah
kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam. Tidaklah pertolongan untuk
mengalahkan orang – orang kafir kecuali dengan kembali kepada berhukum
dengan kitabullah dan sunnah Nabinya dalam kehidupan kita.
Pengajar yang sesuai dengan kemampuan,
apabila mengikhlaskan amalnya dan berpegang teguh dengan metode yang
islami dalam pengajaran dan pendidikanya akan mampu membangun bangsa
yang kuat, mampu melawan permusuhan orang – orang yang melampaui batas,
dan mampu membawa bendera tauhid untuk merobohkan benteng – benteng
kekufuran dan kesyirikan. Oleh karena itu Allah berfirman kepada
Rasul-Nya Muhammad, Pengajar pertama dan Guru besar dengan firmannya :
الر
ۚ كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam Ra. (ini adalah) kitab yang
Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap
gulita kepada cahaya terang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju
Tuhan Yang Maha Perkasa Lagi Maha Terpuji” [Ibrahim : 1]
Sehingga seorang pengajar dan pelajar
haruslah menjadikan panutan para pelajarnya adalah RasulNya Rabb semesta
alam yang telah diutus untuk seluruh manusia. Allah berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” [Al Anbiyaa :107]
8. Seorang guru harus mengingatkan
pelajarnya akan asas-asas yang menghancurkan seperti : Komunis, atheis,
freemansory, sosialisme, marxisme, dan sukulerisme yang tidak beragama.
Dan memperingatkan dari nasionalisme yang mendahulukan non muslim Arab
atas muslim bukan Arab, berdasarkan Firman Allah :
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“barang siapa mencari agama selain
agama islam, maka sekali kali tidaklah di terima (agama itu) darinya,
dia di akherat termasuk orang – orang yang rugi” [Ali Imran : 85]
Dan juga memperingatkan dari sifat
diktator dan demokrasi yang berhukum dengan selain syariat Allah, selain
itu memperingatkan dari durhaka kepada orang tua dan mengingatkan
kewajiban – kewajiban kepada orang tua. Firman Allah :
وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا
كَرِيمًا -
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“dan tuhanmu telah memerintahkan
supaya jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pad
ibu bapakmu dengan sebaik baiknya. Jika salah seorang diantara mereka
berdua atau keduanya – duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali kali janganlah kamu mengatakan kepadanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapankanlah
kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “ Wahai tuhanku,
kasihinilah mereka keduanya, sebaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecul “ [Al Israa” 23-24]
(dikutip dari buku Kiat Sukses Mendidik Anak, Pustaka Al Haura)
sumber : http://www.salafy.or.id/keluarga/tugas-dan-kewajiban-pengajar/
sumber : http://www.salafy.or.id/keluarga/tugas-dan-kewajiban-pengajar/
Langganan:
Postingan (Atom)