Rabu, 28 Maret 2012

Jual Jilbab Cadar Rit Burdah

Sebenarnya jilbab itu pada dasarnya sama,yaitu kain yang menutupi kepala sampai badan ataupun sebetis.Ada yang penutup mukanya terpisah dengan jilbabnya, ada yang pakai cadar tempel,tali,cadar rangkap 3 lapis.Ada juga yang cadarnya dipasang gandeng dengan jilbabnya.Diantaranya ada jilbab cadar rit,jilbab cadar rit burdah,jilbab rit safar. Untuk kain juga variasi ,ada yang demen sesuai warna kulit,ada yang demen tebal dan tidak panas,ada yamg demen enek dipakai dengan harga yang terjangkau.Yang semua tadi yang sesuai syar'i. Bagi pembeli bisa pesan barang-barang yang kami tawarkan,bisa sms,telpon,lewat email. Ayooo buruan ada hadiah menarik tuk 10 pemesan......

Selasa, 27 Maret 2012

Lakukan Hal yang Bermanfaat

‘Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya) menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.” ‘Umar bin Qais Al-Mula’i Radhiallahu ‘anhu berkata: Seseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman: “Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.” Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.” Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.” Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri Radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata: “Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah Allah menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.” Sahl At-Tusturi Rahimahullahu berkata: “Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.” Ma’ruf Rahimahullahu berkata: “Pembicaraan seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya merupakan kehinaan dari Allah (untuknya).” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294) Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 037

Senin, 26 Maret 2012

Jual Sirwal anti Sobek

OBRALLL MURAH...........khusus bulan april Sirwal anti sobek di selangkangan.Dilengkapi dengan kursi buat duduk dari kain itu.Buktikan sendiri,sementara ini hanya terima pesanan .Dengan kriteria semua sisi kain diobras, hrga jual Rp 50.000,00 belum biaya kirim.cepetan mumpung murah.

Jumat, 23 Maret 2012

Jadwal Pengajian Harian Masjid AL-ANSHOR wonosalam,ngaglik,sleman

Untuk Khusus putra :Al Ustadz syafrudin   Sabtu  - Ba"da shubuh  Nahwu

                                                      - ba"da  magrib Riyadhus sholihin       (pekan 2 dan 4)                                                                           Jami'ul 'ulum wal hikam (pekan 1 & 3)


                                          Ahad   - Ba'da magrib Shohih muslim

                                          Senin  - Ba'da shubuh  Nahwu
                                                 - Ba'da magrib  At Tuhfah Al Iroqiyah


                                          Selasa - Ba'da shubuh  Nahwu
                                                 - Ba'da magrib  Al Ajwibah Al Mufidah

                                          Rabu   - Ba'da magrib  Al ushul ats Tsalasah

                                          Kamis  - Ba'da shubuh  Nahwu
                                                 - Ba;da magrib  Bulughul Marom

                    : Al ustadz Abdulloh Nahar

                                         jum'at  - Ba'da magrib  Lum'atul i'tiqod




Untuk Khusus putri  : Al ustadz syafrudin

                                         Selasa  - Ba'da 'ashr  Raf'ul ilmi
                                                                (sebab-sebab diangkatnya ilmu)


                                         jum'at  - Ba'da 'ashr  Manhajus Salikin
                                                                (panduan fiqih ibadah)

Rabu, 21 Maret 2012

Diabetes

Ramuan herbal berkualitas, yang secara sinergis digunakan untuk membantu mengatasi penyakit diabetes. dengan efektifitas mengurangi kadar gula darah berlebih dan memperbaiki kinerja organ pankreas ,jantung dan ginjal. Harga jual Rp 60.000,00 belum termasuk biaya kirim.kami tunggu pesanannya.

Subur Max

Herbal Kesuburan "SUBUR MAX "SAMAWI HERBAL merupakan perpaduan 100% bahan alami,berkhasiatuntuk mengobati gangguan kehamian yang berasal dari pihak istri maupun suami. harga jual Rp 79.000,00.belum termasuk biaya kirim.

Habbatus Sauda 100kpsl

Selasa, 20 Maret 2012

Habbatus Sauda 210kpsl

minyak Rosululloh sholallahu'alaihim wa sallam bersabda :Sesungguhnya pada Habbatussauda itu terdapat obat bagi segala macam penyakit kecuali Kematian. (Hr. Bukhori - muslim ). Kelebihan produk kami : 1. Lebih Halus 2. Lenih hitam 3. Lebih Berminyak 4. Lebih Berisi @700mg Anda tidak usah was-was dengan produk kami,produk ini udah punya sertifikat POM TR 093 304 261.juga telah banyak Para Dokter yang mengajak untuk kembali ke HERBAL. Produk ini kami jual dengan harga Rp 42.000,00

Senin, 19 Maret 2012

Keutamaan 'Iffah dan Bersabar

ditulis oleh: Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di) Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia: وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ “Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421) Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi manfaat. Pertama: Ucapan Nabi n: وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ “Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.” Kedua: Ucapan Nabi n: وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ “Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).” Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan makhluk. Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut. 1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal). Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z: مَا أَتَاكَ مِنْ هذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ “Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402) Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka, merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah. 2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan. Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus memperkuat ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya. Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya. Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 6842 dari Ibnu Mas’ud z) Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa kebaikan agama. Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya. Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya. Ketiga: Ucapan Nabi n: وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ “Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.” Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya menghadapi berbagai masalah. Allah l berfirman: “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45) Maknanya, dalam seluruh masalah kalian. Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: وَمَنْ يَتَصَبَّرْ “memaksa jiwanya untuk bersabar”, balasannya: يُصَبِّرهُ اللهُ “Allah l akan menjadikannya sabar.” Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya. Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran. Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa menegakkan ketaatan tersebut dan menunaikannya. Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga ia bisa meninggalkannya karena Allah l. Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan sehingga ia tidak menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah l. Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni surga) dengan firman-Nya: Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Ra’d: 23—24) Demikian pula firman-Nya: “Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka….” (Al-Furqan: 75) Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-tempat yang tinggi. Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan dari musibah yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong hamba-Nya. Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia. Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan, taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka. Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak ketaatan. Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan. Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa musibah. Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat. Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan mereka dari kesulitan. Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan. Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan. Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka. Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka. Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut. وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di t) Sumber Majalah Asy Syariah edisi 06i:

Selasa, 06 Maret 2012

Berbuat Baik Kepada Sesama

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Menyambung pembicaraan terdahulu tentang kunci-kunci rezeki, maka perlu kita ketahui ada amalan lain yang bila dilakukan seorang hamba akan memudahkan datangnya rezekinya. Amalan tersebut adalah berinfak fi sabilillah. Siapa yang menginfakkan atau membelanjakan hartanya dalam kebaikan, Allah l akan menggantinya di dunia, dan kelak di akhirat disediakan pahala yang berlipat ganda. Allah l berfirman: “Katakanlah (wahai Nabi), ‘Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya.’ Dan apa saja yang kalian nafkahkan/infakkan maka Dia akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39) Orang yang berinfak di dunia akan beroleh ganti dan di akhirat kelak mendapatkan ganjaran dan pahala, kata Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya. (Tafsir Ibni Katsir, 6/331) Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di t mengatakan, “Dan apa saja yang kalian nafkahkan/infakkan, berupa nafkah yang wajib ataupun mustahab/sunnah, untuk kerabat, tetangga, orang miskin, anak yatim, atau selainnya, maka Dia l akan menggantinya. Karenanya, janganlah kalian menyangka berinfak itu mengurangi rezeki. Bahkan Allah l –Dzat yang melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya– berjanji akan memberi ganti kepada orang yang berinfak. Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya, maka mintalah rezeki dari-Nya dan berupayalah menempuh sebab-sebab yang diperintahkan-Nya kepada kalian.” (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan) Ayat lain yang bisa kita bawakan sebagai bukti bahwa orang yang berinfak akan murah rezekinya adalah firman Allah l: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kefakiran dan menyuruh kalian berbuat fahisyah (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dari-Nya untuk kalian dan karunia-Nya.” (Al-Baqarah: 268) Ibnu ‘Abbas c berkata tentang ayat di atas, “Dua dari Allah l dan dua dari setan. Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kefakiran, ia berkata, ‘Jangan engkau infakkan hartamu dan tahanlah karena engkau membutuhkannya.’ Dan ia menyuruh kalian berbuat fahisyah (kikir). Sementara Allah l, Dia menjanjikan ampunan dari-Nya untuk kalian, dari maksiat-maksiat yang dilakukan, dan berjanji memberikan karunia-Nya berupa kelebihan/keutamaan dalam rezeki.” (Tafsir Ath-Thabari, 3/88, atsar no. 6167) Dalam Tafsir Al-Khazin1 (1/204) dinyatakan bahwa ampunan merupakan isyarat yang menunjukkan pada kemanfaatan akhirat, sedangkan karunia/keutamaan menunjukkan kemanfaatan dunia dan rezeki berikut ganti yang diperoleh. Al-Qadhi Ibnu ‘Athiyyah2 t berkata dalam tafsirnya, “Maghfirah atau ampunan adalah ditutup/ dihapusnya kesalahan para hamba-Nya di dunia dan di akhirat. Sedangkan Al-Fadhl atau karunia/keutamaan adalah rezeki di dunia, beroleh keluasan di dalamnya dan mendapatkan nikmat di akhirat.” (Al-Muharrarul Wajiz fi Tafsir Al-Kitabil ‘Aziz, 1/364) Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menyebutkan beberapa faedah dari ayat di atas. Di antaranya: 1. Setan dapat memberikan tipu daya guna menyesatkan manusia, ditunjukkan dalam firman-Nya: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kefakiran.” (Al-Baqarah: 268) 2. Setan dapat memengaruhi manusia untuk berani berbuat sesuatu atau menghalangi untuk berbuat sesuatu. Misalnya, setan menyuruhnya berzina dan menghias-hiasi perbuatan zina tersebut hingga akhirnya ia berani berzina. Di arah lain, setan menyuruhnya kikir dan menakut-nakutinya dengan kemiskinan bila ia menginfakkan hartanya sehingga ia pun enggan berinfak. 3. Tidak ada yang membuka pintu-pintu kesialan kecuali para setan. Setan ini membuka untukmu pintu kesialan, ia berkata, “Bila hari ini engkau berinfak besok engkau akan jadi orang miskin, karenanya jangan berinfak.” 4. Kikir termasuk perbuatan fahisyah. 5. Siapa yang menyuruh orang lain untuk menahan harta agar tidak diinfakkan di jalan kebaikan, berarti ia serupa dengan setan. 6. Kabar gembira bagi orang yang berinfak, ia akan beroleh ampunan dan tambahan harta. Bila ada yang bertanya, “Bagaimana bentuk tambahan yang diperoleh orang yang berinfak, sementara kenyataannya bila dikeluarkan infak maka harta akan berkurang? Seperti seseorang yang sebelumnya memiliki sepuluh dirham, lalu diinfakkannya satu dirham, niscaya hartanya tinggal sembilan dirham. Lalu dari sisi mana tambahannya? Jawabannya: Tambahan pahala di akhirat kelak tentunya jelas, karena satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipat sampai 700 kali, bahkan berlipat ganda. Adapun tambahan di dunia, maka dari beberapa sisi: Pertama: Terkadang Allah l membukakan satu pintu rezeki bagi seseorang yang sebelumnya tidak terpikirkan di benaknya, sehingga bertambahlah hartanya. Kedua: Allah l menjaga harta seseorang dari rusak/hilang dan semisalnya. Seandainya si pemilik tidak bersedekah niscaya harta itu akan binasa, maka dengan berinfak akan melindungi harta dari kebinasaan. Ketiga: Diperolehnya barakah dalam berinfak di mana dengan berinfak walau sedikit akan didapatkan buah yang sangat besar. Sementara bila dicabut barakah pada harta niscaya akan dihambur-hamburkan dalam perkara yang tidak bermanfaat atau bahkan memudaratkan si pemiliknya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/347-349) Abu Hurairah z menyampaikan hadits dari Rasulullah n: قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ Allah l berfirman, “Berinfaklah wahai anak Adam, niscaya Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR. Al-Bukhari no. 5352 dan Muslim no. 2305) Dalam hadits yang lain, Rasulullah n bersabda: مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُوْلُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا Tidak ada satu hari pun di mana para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang kikir.” (HR. Al-Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 2333) Sementara kita tahu doanya malaikat mustajab di sisi Allah l karena mereka tidaklah mendoakan seseorang melainkan dengan izin Allah l. Allah l berfirman: “Dan mereka (para malaikat itu) tidaklah memberikan syafaat (untuk seorang pun) kecuali orang yang Allah ridhai dan mereka takut kepada-Nya.” (Al-Anbiya’: 28) Al-Imam Al-­Baihaqi t meriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Nabi n berkata kepada Bilalz: أَنْفِقْ يَا بِلَالُ، وَلاَ تَخْشَ مِنْ ذِيْ العَرْشِ إِقْلاَلاً “Berinfaklah wahai Bilal! Jangan engkau khawatir menjadi fakir dan tidak memiliki apa-apa dari Dzat Pemilik Arsy.” (diriwayatkan dalam Syu’abul Iman, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t karena banyak jalan/jalurnya. Lihat Al-Misykat hadits no. 1885) Alangkah kuatnya jaminan yang diberikan untuk orang yang berinfak! Apakah mungkin Dzat yang memiliki Arsy, Allah l, akan menghinakan orang yang berinfak di jalan-Nya sehingga akhirnya orang itu meninggal dalam keadaan fakir, tidak memiliki apa-apa? Tentu jawabnya tidak. Asy-Syaikh Al-Mulla Ali Al-Qari t menjelaskan hadits di atas, “Apakah engkau takut Dzat yang mengatur perkara dari langit ke bumi akan menyia-nyiakan orang yang semisalmu? Maksudnya, apa engkau takut Dzat yang rahmat-Nya meliputi seluruh penduduk langit dan bumi, yang mukmin maupun yang kafir, burung-burung ataupun hewan melata, akan mengecewakan harapanmu dan menyedikitkan rezekimu?” (Mirqatul Mafatih, 4/389) Nabi n pernah berkisah: بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلاَةٍ مِنَ الْأَرْضِ، فَسَمِعَ صَوْتًا فِي سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيْقَةَ فُلاَنٍ. فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ، فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ، فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ. فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ، فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيْقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ بِمِسْحَاتِهِ. فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلاَنٌ؛ لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ. فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحاَبِ الَّذي هَذا مَاؤُهُ، يَقُوْلُ: اسْقِ حَدِيْقَةَ فُلاَنٍ؛ لِاسْمِكَ، فَمَا تَصْنَعُ فِيْهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذَا قُلْتَ هَذَا، فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى ماَ يَخْرُجُ مِنْهَا، فَأَتَصَدَّقَ بِثُلُثِهِ، وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا، وَأَرُدُّ فِيْهَا ثُلُثَهُ -وَفِي رِوَايَةٍ: وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ فِي الْمَسَاكِيْنِ وَالسَّائِلِْينَ وَابْنِ السَّبِيْلِ Tatkala seorang lelaki berada di padang yang luas, ia mendengar sebuah suara di awan, “Airilah kebun si Fulan.” Maka awan tersebut mengarah ke suatu tempat, lalu ia mencurahkan airnya di tanah yang bercampur bebatuan hitam. Ternyata satu selokan dari beberapa selokan yang ada telah menampung air hujan itu seluruhnya. Lelaki tersebut mengikuti aliran air, pada akhirnya membawanya bertemu dengan seorang lelaki yang berdiri di kebunnya sedang memindahkan air dengan cangkulnya. Ia pun bertanya, “Wahai hamba Allah! Siapakah namamu?” “Fulan,” jawabnya, dengan menyebut nama yang didengarnya di awan. “Wahai hamba Allah! Mengapa engkau menanyakan namaku?” si pemilik kebun balik bertanya. “Aku mendengar sebuah suara di awan yang mencurahkan airnya ke kebunmu ini, awan itu berkata, ‘Airilah kebun si Fulan.’ Dengan menyebut namamu. Maka aku ingin tahu apa yang engkau lakukan pada kebunmu ini sehingga engkau mendapat pengkhususan demikian,” katanya meminta penjelasan. Si pemilik kebun menjelaskan, “Adapun bila memang seperti yang engkau katakan, maka aku biasa melihat hasil panen kebunku ini untuk aku sedekahkan sepertiganya. Sepertiga lagi untuk aku makan berikut keluargaku, dan sepertiga yang tersisa aku kembalikan ke kebunku (untuk keperluan menanam kembali).” Dalam satu riwayat, “Aku berikan sepertiganya untuk orang-orang miskin, peminta-minta, dan ibnu sabil.” (HR. Muslim no. 7398) Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan sedekah dan berbuat baik kepada orang miskin dan ibnu sabil. Sebagaimana hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang makan dari hasil usaha/ keringatnya sendiri dan keutamaan memberi infak kepada keluarga.” (Al-Minhaj, 18/315) Infak untuk Penuntut Ilmu Syar’i Anas bin Malik z berkata: كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ n، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِي النَّبِيَّ n -وَفِي رِوَايَةٍ: يَحْضُرُ حَدِيْثَ النَّبِيِّ n وَمَجْلِسَهُ- وَالْآخَرُ يَحْتَرِفُ. فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِيَّ n (فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ هَذَا أَخِيْ لاَ يُعِيْنُنِيْ بِشَيْءٍ) فَقَالَ: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ Ada dua orang bersaudara di masa Rasulullah n yang satu biasa mendatangi Nabi n (dalam satu riwayat: ia menghadiri hadits Nabi n dan mejelis beliau) sedangkan yang satunya lagi sibuk bekerja. Suatu ketika yang bekerja mengadukan saudaranya kepada Nabi n. (Ia berkata, “Wahai Rasulullah, saudaraku ini tidak membantuku sedikitpun untuk mencari penghidupan.”) Nabi n malah mengatakan, “Mungkin kamu diberi rezeki karena dia.” (HR. At-Tirmidzi no. 2345, dishahihkan dalam Al-Misykat no. 5308 dan Ash Shahihah no. 2769) Al-Mubarakfuri menjelaskan hadits ini, “Mungkin kamu diberi rezeki karena dia.” Maksudnya aku berharap dan aku khawatir kamu diberi rezeki justru karena barakah saudaramu itu karena dia diberi rezeki dari hasil pekerjaanmu. Oleh sebab itu kamu jangan merasa telah memberi anugerah kepadanya dengan perbuatanmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, Kitabuz Zuhd, bab At-Tawakkul ‘alallah) Hadits di atas menunjukkan bahwa memberi infak kepada penuntut ilmu syar’i yang mempelajari agama Allah l, belajar Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi, juga termasuk kunci rezeki. Berbuat Baik Kepada Orang-Orang Lemah Mush’ab ibnu Sa’d ibnu Abi Waqqash menceritakan bahwa ayahnya, Sa’d z merasa punya kelebihan/keutamaan dibanding para sahabat yang lain, maka Nabi n mengingatkan: هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ “Tidakkah kalian ditolong terhadap musuh-musuh kalian, dan tidakkah kalian diberi rezeki melainkan karena orang-orang lemah kalian?” (HR. Al-Bukhari no. 2896) Al-Muhallab berkata sebagaimana dinukil dalam Fathul Bari (6/109), “Nabi n menginginkan dengan ucapan tersebut untuk mendorong Sa’d agar tawadhu’, tidak menyombongkan diri di hadapan orang lain dan tidak meremehkan seorang muslim dalam seluruh keadaan.” Dengan demikian, siapa yang ingin mendapatkan pertolongan Allah l dan beroleh rezeki dari-Nya, hendaklah ia berbuat baik kepada orang-orang lemah dari kalangan orang fakir, miskin, anak yatim, janda dan semisalnya. Mengapa pertolongan Allah l diberikan lewat mereka? Diterangkan Al-Mundziri bahwa ibadah orang-orang lemah dan doa mereka lebih ikhlas, karena hati mereka bersih dari ketergantungan terhadap perhiasan dunia. Juga karena keinginan mereka itu satu, makanya doa mereka dikabulkan dan amalan mereka bersih. (‘Aunul Ma’bud, kitabul Jihad, bab fil Intishar bi Radzlil Khail wadh Dha’fah) Nabi yang mulia n pernah menyatakan bahwa ridha beliau didapatkan dengan berbuat ihsan/kebaikan kepada orang-orang lemah. Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim meriwayatkan dari Abud Darda z, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda: أَبْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ، فَإِنَّمَا تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ “Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang lemah kalian, karena kalian diberi rezeki dan ditolong disebabkan orang-orang lemah kalian.” (Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 779) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. 1 Nama lainnya Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, karya ‘Alauddin ibnu Ali ibni Muhammmad ibni Ibrahim Al-Baghdadi, semoga Allah l merahmati beliau, yang masyhur dengan sebutan Al-Khazin, wafat tahun 725 H. 2 Beliau adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Abdul Haq ibnu Ghalib ibnu Athiyyah Al-Andalusi t, wafat tahun 546 H. Sumber :Majalah Asy syariah Edisi 5o.

Senin, 05 Maret 2012

Jual Gamis Maroko Al Habib

Kami juga menerima pesanan sepotong gamis yang lengannya pendek hanya sepanjang siku-siku tangan,dengan bentuk krah seperti huruf V,yang dibuat sselebar kira-kira 3cm.Tanpa kancing ataupun reseleting.Saku depan dibuat tanpa paspol(saku luar) dan juga ada saku samping kanan dan kiri yang menggantung.panjang gamis ini selutut.harga jual Rp 50.000,00.

Minggu, 04 Maret 2012

Jual Gamis Saudi Al Habib Ukuran XL

Alhamdulillah teryata nama saja bukan betulan.Kain SUTRA CINA nama yang udah tidak asing lagi di kurun sekarang,ada juga yang menamai IMPERIAL.Kalo sekali mendengar kaget,karena bagi laki-laki dari umat Rasulullah Sholallohu 'alaihi wassalam di haramkan memakai SUTRA dan EMAS .Nama kain sutracina itu cuma nama saja bukan sutra beneran.Kami menerima pesanan gamis,jubah ikhwan,stelan akhwat,stelan banat dari bahan sutracina/imperial.Jenis kainnya lunak,lembut,dingin,ringan dan nyaman.Variasi warna :putih,coklat,biru dongker,abu-abu,coklat susu,ungu dll.Untuk gamis kain sitracina/imperial ini harga jual Rp 90.000,00.

Sabtu, 03 Maret 2012

Jual Jubah Saudi Al Habib

Bagi antum yang pingin jubah yang ber krah, kami menerima pesanan jubah saudi ,dengan bentuk 3 lembar kain yang kemudian dijahit .Jadi di sebelah kanan ada 3 jahitan,yang sebelah kiri juga 3 jahitan.Ukuran bisa S,M,l,XL.Juga warna bervariasi,tidak ketinggalan jenis kain ada :Sunwosh,Silfone,silfana,Wolpiks,imperial dll.Untuk jenis kain silfone harga juan Rp 85.000,00.

Jumat, 02 Maret 2012

Jual Jubah Yaman Ukuran M

Dihadapan layar Hp atau Monitor antum bisa dilihat jubah yaman.Ini ukuran M dan masih ada ukuran lain,apabila antum minat bisa pesan sesuai dengan selera antum,warna variasi.Ada putih,coklat,biru dongker dll.Juga jenis kain ada shunwosh,tesa,kelly dobby,silfone,imperial dll.Untuk bahan kain tesa harga jual Rp 80.000,00. Kami menyediakan ukuran s,m,l,dan xl.

Kamis, 01 Maret 2012

Najis,Mudah Dijumpai Jarang Dikenali

ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)
Pengetahuan tentang najis sangat penting bagi seorang muslim karena berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.
Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan harus diperhatikan keberadaannya, khususnya oleh seorang muslim karena berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah I. Contoh yang paling mudah, ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.
Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini –walaupun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan macam-macamnya secara rinci–. Terkadang sesuatu yang najis disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Di waktu lain, sesuatu yang sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.
Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai sesuatu. Di antara macam-macam najis tersebut ada yang disepakati para ulama bahwa perkara itu adalah najis, dan ada pula yang diperselisihkan tentang kenajisannya, apakah hal itu termasuk sesuatu yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin Allah I, kita akan mengupasnya satu per satu.
Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri z. Beliau menceritakan bahwasanya Rasulullah r  pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Selesai shalat, beliau r mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan melepas sandal yaitu dikarenakan Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau r ada kotoran, dan beliau bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (HR. Al-Imam Ahmad dan berkata Asy-Syaikh Muqbil t tentang hadits ini dalam karya beliau Al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya) adalah rijal Shahih Al-Bukhari)
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas c yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh Rasulullah r:
“Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya.” (HR. Al-Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah najisnya kotoran dan kencing manusia ini –banyak ataupun sedikit– disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia –baik banyak ataupun sedikit– adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim. Sedangkan apa yang berasal dari Abu Hanifah adalah pendapat yang tertolak.
Lain halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.
Walaupun dalam hal ini ada perselisihan ulama, pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 223) dan Al-Imam Muslim (no. 287):
“Ummu Qais bintu Mihshan Al-Asadiyyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah r, lalu Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. (Dalam lafadz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut)”
Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan air pada tempat yang terkena sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.
Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, masih diperselisihkan kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan –baik yang dimakan dagingnya maupun tidak– adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhil Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh Al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, di antaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti kita ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan ada riwayat dari Anas bin Malik z yang menerangkan bahwa Rasulullah r  memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya:
“Sekelompok orang dari Bani ‘Akl (Bani ‘Urainah)  datang menemui Nabi. Namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Rasulullah r pun memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi r dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.”
2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih encer dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’. Dalil lain yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari (hadits no. 269) dan Al-Imam Muslim (hadits no. 303) rahimahumullah dari hadits ‘Ali z ketika ‘Ali menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang madzi ini kepada Rasulullah r. Beliau menjawab:
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”
Ibnu Daqiqil ‘Id t mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah r memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita, namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Muslim.
3. Wadiy
Wadiy adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar. Hukum wadiy sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Al-Imam An-Nawawi t di dalam kitab Al-Majmu’ menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadiy itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadiy.”
4. Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang umum dijumpai kaum wanita. Namun masih ada dari mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau bukan, sementara hal ini sangat penting bagi mereka.
Telah ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr x. Beliau menceritakan:
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah r. Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah r bersabda, “Apabila darah haidh mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengerik lalu membasuhnya. Kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 330, 331 dan Muslim no. 110)
Al-Imam Ash-Shan‘ani t di dalam Subulus Salam -setelah membawakan hadits di atas-: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Al-Imam An-Nawawi menukilkan adanya ijma‘ dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haidh.
5. Bangkai
Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan Al-Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Al-Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’.
Rasulullah r bersabda:
“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim no. 105)
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi r:
“Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah I:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut…” (Al-Maidah: 96)
Al-Imam Ath-Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas c tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan () adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan () adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah r bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Shahih, HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Ash-Shahihah, 1/480)
3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdalil dengan hadits:
“Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3320)
Al-Imam Ash-Shan‘ani t berkata: “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak. Sedangkan Nabi r memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya.” (Subulus Salam)
Ketiga poin di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis, wallahu a‘lam bish-shawab.
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat (benda-benda yang najis) agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah I.
Wallahu a’lam.


Sumber :Majalah Asy Syariah Edisi 1

Kasus Ruyati sebagai Ujian

oleh Al Ustadz Qomar ZA, Lc
Telah terjadi hukum pancung atas ibu Ruyati pada tanggal 18 Juni 2011 lalu di negara Saudi Arabia (http://m.inilah.com/read/detail/1620212/inilah-kronologis-proses-hukum-tki-ruyati/), kejadian yang cukup menggemparkan, terutama di Indonesia. Bagaimana tidak? Ibu Ruyati -semoga Allah merahmatinya-, adalah seorang ibu berkewarganegaraan Indonesia, yang bekerja menjadi TKW di Saudi Arabia telah dihukum pancung. Seolah tiada hujan tiada angin, tiba-tiba berita duka tersebut menghujani tanah air ini dengan deras, bahkan keluarga korbanpun mengaku tidak mendapat informasi yang cukup. Sebagaimana pemerintah Indonesia juga mengaku demikian.
Informasi yang tiba-tiba dan dengan segala kekurangannya mengundang banyak komentar di berbagai kesempatan. Tentu, komentar itu pun bermacam-macam sesuai keberagaman orang yang berkomentar. Dari muslim, sampai non muslim. Dari orang yang bijak sampai orang yang sembrono. Dari yang menunggu informasi yang cukup sampai yang asal bunyi dengan penuh ketergesaan dan emosi.
Saya memandang bahwa kasus ini sebagai ujian yang cukup berat bagi kita semua, tentu sebagai seorang muslim meyakini, bahwa segala kata-kata yang keluar darinya akan dicacat oleh malaikat, yang bakal ditimbang sebagai amal baik atau buruk di akhirat kelak,
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
‘Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ [Q.S. Qaf:18]
Inilah ujian pertama bagi kita semua, ketergesaan dalam berkomentar tanpa memiliki informasi yang cukup membuat seseorang terjerumus dalam komentar yang salah dan tidak bijak, sehingga bisa menjadi bencana buatnya atau buat orang lain di kemudian hari.
Memojokkan salah satu pihak dan menyalahkannya tanpa informasi yang cukup adalah sikap yang tidak bijak yang akan merugikan, ini menggambarkan ketergesaan yang tanpa pikir panjang. Sama saja apakah yang di pojokkan itu adalah pihak Ibu Ruyati –semoga Allah merahmatinya- atau pihak pemerintah RI sebagai penanggung jawab atas warganya, ataukah pihak keluarga majikan sebagai korban pembunuhan Ibu Ruyati, ataukah pihak pemerintah Saudi Arabia sebagai hakim antara dua orang yang bertikai dan yang memutuskan perkaranya.
Tentu untuk menilai siapa yang salah, siapa yang keliru, kita harus mengetahui sejak awal kasus ini, apa yang dilakukan Ibu Ruyati, benarkah dia membunuh, bagaimana membunuhnya, kenapa dia melakukannya, apa yang dilakukan majikan, kenapa dia melakukannya, apa yang dilakukan pihak hakim, kenapa sampai pada vonis hukum mati, apa yang dilakukan pemerintah Saudi Arabia terhadap pihak pemerintah RI, apa upaya yang telah dilakukan pemerintah RI melalui duta besarnya. Apakah informasi itu semua telah kita miliki sehingga kita dapat menilai dengan baik dan benar baik dalam menyalahkan atau membenarkan salah satu pihak?
Apakah komentar kita adalah komentar yang dapat dipertanggung jawabkan di dunia maupun di akhirat di hadapan Rabbul Alamin?
Jangan sampai musibah yang menimpa membuat kita jatuh dalam musibah lain, tergelincirnya kita dalam komentar yang salah.
Sebelum saya lanjutkan, saya ucapkan kepada keluarga Ibu Ruyati -semoga Allah merahmatinya- agar bersabar atas segala musibah. Sebagai umat muslim, tentu meyakini bahwa semua musibah mengandung hikmah, apa yang terjadi semoga menjadi penebus dosa. Semoga Allah U mengganti musibah kalian dengan pahala dan yang lebih baik.
Kembali kepada ujian di balik kasus, di antara ujian yang terberat bagi muslimin  dari kasus itu adalah ujian keimanan terhadap ajaran Islam. Tak sedikit dari kasus ini muncul komentar, atau minimalnya perasaan dan anggapan negatif terhadap hukum Islam, qishash. Dari kasus tersebut bisa jadi seorang muslim justru menyalahkan hukumnya, tanpa menengok kepada alur peristiwa dan hukum. Ini yang justru sangat dikhawatirkan, oleh karenanya saya menganggap ini ujian yang sangat berat bagi muslimin, karena ini bisa menggoyah keimanan dan keislamannya. Kembali, sebabnya adalah tiadanya informasi yang cukup tentang kejadian yang sesungguhnya dan tentang apa itu hukum qishash dalam Islam.
Kita tutup sejenak lembaran ibu Ruyati, karena itu sifatnya kasuistik yang untuk mempelajarinya perlu studi kasus. Kita akan coba buka lembaran ensiklopedi fikih Islam, untuk mengetahui apa itu qishash.
Ternyata qishash bukan hanya ada dalam al-Quran bahkan dahulu dalam kitab Taurat pun telah ada syariatnya, saat kitab Taurat masih murni. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
artinya, “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [Q.S. al-Maidah:45]
Namun demikian, syariat qishash dalam hal pembunuhan, nyawa dibayar nyawa, tidak sesederhana yang dibayangkan, bahkan hal itu tidak terlepas dari segala aturan yang terkait dengannya. Sebagai contohnya, diantara beberapa syarat seseorang dibalas bunuh, misalnya si pembunuh adalah mukallaf (dibebani hukum, red.), dan si pembunuh membunuhnya dengan suka rela, tidak dipaksa. Dengan pembunuhan ‘qotlul amd’ (sengaja melakukan pembunuhan dengan alat yang mematikan).
Dan di antara syarat meminta qishash adalah bahwa seluruh wali korban sepakat untuk membalas bunuh, bila ada salah satu saja yang memaafkan, maka gugurlah permintaan qishash.
Untuk diketahui pula bahwa balas bunuh bukanlah satu-satunya pilihan bagi keluarga korban, tetapi ada dua pilihan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam memberikan dua opsi, “Barangsiapa yang salah satu keluarganya terbunuh maka dia di antara dua pilihan, diberi diyat (tebusan) atau di-qishash.” [Sahih, H.R. al-Bukhari]
Bahkan, dalam Islam sangat dianjurkan bagi para wali korban untuk memaafkan, artinya tidak membalas bunuh tapi membayar diyat. Dan lebih baik lagi jika para wali korban tersebut memaafkan tanpa bayaran sama sekali. firman Allah :
artinya, “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,“ [Q.S. al-Baqarah:178].
Lihatlah penggunaan kata saudara, apa rahasia di balik itu?
Asy Syaikh as-Sa’dy  dalam tafsirnya mengatakan, “Terkandung pada ayat tersebut anjuran untuk berbelaskasih dan memaafkan, mengganti qishash dengan diyat, dan lebih bagus lagi memaafkan tanpa minta diyat”.
Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam sendiri senantiasa menyarankan para wali korban untuk memberikan maaf. Shahabat Anas bin Malik menceritakan, “Tidaklah didatangkan kepada Rasulullah satu urusan qishash pun kecuali beliau menyarankan untuk dimaafkan”. [Sahih, HR Ibnu Majah. Lihat Sahih Sunan]
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam  pernah memberikan harta yang sangat banyak kepada orang-orang Laits agar mereka mau memaafkan, dan tidak menuntut qishash.
Namun, hal ini tentu tanpa mengesampingkan hak keluarga korban. Kita tidak bisa hanya memandang orang yang hendak dieksekusi. Tentu hak korban juga harus diperhatikan, mereka orang yang telah dirugikan dalam hal ini, salah satu anggota keluarga mereka telah wafat dengan cara dibunuh, dan bukankah membunuh itu dosa yang sangat besar? (lihat Q.S. an-Nisa’:93). Bayangkan kalau itu menimpa salah satu kita -semoga tidak terjadi-. Andai mereka memaafkan, itu keutamaan yang sangat tinggi nilainya, tapi kalau mereka tetap menuntuk hak, itu hak mereka, bukan sikap yang adil kalau hak mereka dihambat.
Pihak pemerintah yang sebagai hakim, mereka adalah pengayom bagi kedua belah pihak yang bertikai, bukan sikap adil kalau mereka langsung memutuskan pancung, atau memutuskan maaf. Dia harus melihat kejadian secara fakta yang nyata lalu menghukuminya tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun.
Seandainya pun pihak yang akan di-qishash itu adalah keluarga hakim sendiri, ia harus tetap berbuat adil, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam  pernah mengatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri tentu akan aku potong tangannya.” Saat itu telah terjadi pencurian oleh salah seorang wanita bangsawan dari kabilah Bani Makhzum, ia telah diproses secara hukum dan ia mesti mendapatkan hukuman potong tangan. Keluarga wanita tersebut merasa keberatan. Bagaimana mungkin seorang wanita dari keluarga bangsawan harus dipotong tangannya karena mencuri. Maka mereka meminta sahabat Usamah bin Zaid , sebagai orang yang sangat disayangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam  untuk memintakan maaf, dengan kata lain, mengurungkan hukum potong tangan tersebut. Beliau pun marah dan mengucapkan, “Yang menghancurkan umat sebelum kalian adalah bila yang mencuri di antara mereka adalah bangsawan, mereka biarkan (kebal hukum), dan bila yang mencuri orang lemah mereka tegakkan hukum padanya” lalu mengucapkan ucapan tersebut di atas. Wanita itu pun akhirnya mengambil pelajaran dari pemotongan tangan tersebut dan semakin memperbaiki ketaatannya. [Sahih HR An Nasai. Lihat Sahih Sunan Nasa’i]
Dalam kasus Ruyati, memang benar apa yang dikatakan duta besar RI bahwa Raja pun tidak bisa campurtangan bila hukum telah diputuskan dan keluarga korban tetap tidak mau memaafkan. (http://fokus.vivanews.com/news/read/228792-raja-saudi-tidak-bisa-ikut-campur).
Namun apa yang bisa dilakukan Raja, Hakim, atau pihak RI, mereka hanya bisa menganjurkan keluarga korban untuk menempuh jalan damai, ishlah, saling memafkan, minimalnya berpindah kepada diyat, walaupun bernilai besar, dan lebih baik lagi gratis. Seperti yang sering dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam .
Untuk diketahui pula, seandainya hakim memutuskan bahwa pembunuhan ini qotlul ‘amd (pembunuhan sengaja, pembunuhan dengan alat yang mematikan). Bisa jadi si pembunuh sebenarnya tidak berniat membunuh, ia hanya ingin melukai, tapi ternyata justru kematian yang terjadi. Dalam kondisi seperti ini, hakim tetap menghukumi secara fakta lapangan. Adapun ucapan si pembunuh bahwa ia tidak bermaksud membunuh, hakim tidak tahu sejauh mana kejujurannya, maka kata-kata tersebut tidak merubah hukum. Ada kemungkinan ia jujur dalam pengakuan tersebut, tapi hanya Allah yang mengetahui. Atas dasar itu, hukum hakim hanya sebatas hukum dunia, dan hakim hanya dapat menganjurkan wali korban untuk memaafkan. Jika si pembunuh telah mengaku bahwa ia tidak punya niatan untuk membunuhnya, kalau ia jujur dan tetap dilaksanakan qishash, maka wali korban yang meng-qishash dianggap telah melakukan pembunuhan terhadapnya.
Abu Hurairah  pernah bercerita, telah terjadi pembunuhan terhadap seseorang di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam , maka perkara tersebut diajukan kepada beliau. Setelah proses, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam  menyerahkan pembunuh tersebut kepada wali korban untuk dibalas bunuh. Ternyata si pembunuh mengatakan, “Wahai Rasulullah, demi Allah, saya tidak bermaksud membunuhnya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam  pun mengatakan kepada keluarga korban, ”Kalau dia jujur, dan kamu tetap membunuhnya maka kamu masuk  neraka.” Akhirnya keluarga korban melepaskannya. [Sahih, HR Abu Dawud dan yang lain. Lihat Sahih Sunan]
Hukum qishash, dalam Islam bukan hanya sebagai hukuman, ada sisi lain yang jarang dipahami oleh banyak orang, yaitu bahwa hukum tersebut juga berfungsi sebagai kaffarah, penutup dosa. Sehingga, hukuman di akhirat bisa terbebaskan dengan di-qishash ini. Dan tentu, hukuman di dunia jauh-jauh lebih ringan ketimbang hukum di akhirat.
Ibnul Qoyyim  menjelaskan, “Yang benar, pembunuhan itu terkait dengan 3 hak: hak Allah, hak yang terbunuh, dan hak keluarganya. Maka jika si pembunuh menyerahkan dirinya dengan suka rela kepada wali korban, karena menyesal dan takut kepada Allah, lalu bertaubat dengan taubat yang benar, maka hak Allah gugur dengan taubatnya. Hak keluarga gugur dengan qishash, damai, atau pemberian maaf. Tinggal hak orang yang terbunuh, maka Allah akan memberikan gantinya untuk hamba-Nya yang bertaubat tersebut dan Allah akan memperbaiki hubungan antara keduanya.”
Dengan penjelasan di atas, seandainya ibu Ruyati salah, semoga ia benar-benar taubat dengan taubatan nashuha, sehingga dosanya terampuni, dan diterima di sisi-Nya. Amin…
Untuk itu, jangan sampai kasus semacam ini mempengaruhi keimanan kita terhadap Islam, banyak pihak ingin memanfaatkannya untuk menyudutkan pihak tertentu, dengan berbagai gosip yang tak bertanggung jawab. Yang cukup aneh dan lucu dalam kasus ini, demi menyudutkan orang Arab, ada yang menganggap bahwa ibu Ruyati membunuh karena membela diri dari upaya pemerkosaan majikannya. Padahal yang dibunuhnya adalah seorang nenek-nenek tua, dan pada dasarnya majikannya adalah keluaga yang baik. Sebagaimana diakui teman satu majikan Ibu Ruyati yang bernama Suwarni, hanya saja si nenek malang -semoga Allah merahmatinya dan memafkannya- suka marah-marah. Ibu Ruyati pun mengakui sebab pembunuhannya adalah rasa kesal akibat sering dimarahi oleh ibu majikan dan kecewa karena majikan tidak mau memulangkan. Ruyati juga menyatakan berniat untuk melarikan diri namun pintu rumah selalu terkunci sehingga tidak dapat keluar dari rumah majikan. Ruyati mengaku tidak pernah disiksa oleh majikannya. (http://m.inilah.com/read/detail/1620212/inilah-kronologis-proses-hukum-tki-ruyati/)
Seandainya pembunuhnya bukan ibu Ruyati, tapi orang Arab sendiri, tentu akan dihukumi dengan hukuman yang sama. Dan faktanya, sudah banyak warga Saudi Arabia yang mati dalam hukum pancung. Memang orang jahat di mana-mana ada, dan kejahatan tetap kejahatan di manapun dan oleh siapapun.
Yang paling berbahaya, ketika kasus ini dipakai untuk menyudutkan Islam. Padahal bila dilihat dengan jujur dan benar, bahwa dalam hal ini syariat Islam lah yang paling adil dan paling menjaga perasaan semua pihak, paling bijak dalam memutuskan. Kita selaku seorang muslim yang hakiki bukan muslim liberal (orang yang mengaku muslim tapi jauh dari Islam), tentu mengimani firmanNya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [Q.S. al-Baqoroh:179].
Imam Asy Syinqithi  dalam tafsirnya menjelaskan, “Di antara pentunjuk Al-Quran yang lebih tepat dan adil adalah qishash, karena bila seseorang marah kemudian bertekad membunuh orang lain, lalu ingat bahwa bila ia membunuh ia akan dibunuh dengan sebab itu, ia akan takut dari akibat perbuatannya sehingga ia mengurungkan niatnya. Sehingga, tetap hiduplah orang yang akan ia bunuh dan dia pun tetap hidup karena tidak membunuh sehingga tidak dibunuh karena qishash. Dengan dibunuhnya seorang pembunuh, akan mengakibatkan hidupnya banyak orang yang tidak diketahui jumlahnya kecuali oleh Allah. Hal itu, sebagaimana kami sebutkan, sesuai dengan firman Allah
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(artinya), “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.[Q.S. Al Baqarah:179].
Tidak diragukan bahwa ini adalah jalan yang paling adil dan paling lurus. Oleh karenanya, telah disaksikan di penjuru dunia, baik dahulu maupun sekarang, sedikitnya jumlah pembunuhan pada negeri-negeri yang berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, qishash adalah peringatan keras terhadap tindak pembunuhan seperti yang Allah sebutkan dalam ayat yang tersebut tadi.
Dan apa yang disebutkan oleh orang-orang anti Islam bahwa qishash tidak bijaksana karena menyebabkan berkurangnya jumlah komunitas masyarakat -yakni membunuh yang kedua setelah matinya yang pertama-, bahwa semestinya dihukum dengan dipenjara, dan bisa jadi ia beranak di balik terali besi sehingga menambah jumlah komunitas masyarakat, ini semua adalah ucapan yang tidak ada nilainya, kosong dari hikmah atau kebijaksanaan. Karena penjara tidak membuatnya jera dari pembunuhan (Apalagi jaman sekarang yang semuanya bisa ditebus dengan uang, penerj.), dan bila hukuman itu tidak membuat jera maka orang-orang rendahan itu akan banyak melakukan pembunuhan sehingga akan bertambah banyak pembunuhan dan komunitas masyarakat akan berkurang berkali lipat.” [dikutip dari Adhwa`ul Bayan, hal:427-428, karya Syaikh Amin Asy-Syinqithi ].


Sumber :Salafy.or.id

Kitabush Shiyam + [download]

كِتَابُ الصِّيَامِ
Kitab (Sesuatu yang Ditulis) Seputar Permasalahan puasa
Definisi Puasa :
Secara Etimologi / Lughawi
Secara lughowi (bahasa) Ash-Shaum (الصَّوْمُ) bermakna (الإِمْسَاكُ) yang artinya menahan.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla :
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Sesungguhnya aku telah bernadzar shaum untuk Ar-Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” [Maryam : 26]

Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata :  صَوْمًا maknanya adalah  صَمْتًا  yaitu menahan diri dari berbicara. [1])
Secara Terminologi / Ishthilah
‘Ibarah (ungkapan) para ‘ulama berbeda dalam mendefinisikan ash-shaum secara tinjauan syar’i, yang masing-masing definisi tersebut saling melengkapi. Sehingga kami pun sampai pada kesimpulan bahwa definisi ash-shaum secara syar`i adalah :
إِمْسَاكُ الْمُكَلَّفِ عَنِ اْلمُفَطِّرَاتِ بِنِيَّةِ التَّعَبُّدِ للهِ مِنْ طُلُوعِ اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ
Usaha seorang mukallaf untuk menahan diri dari berbagai pembatal ash-shaum disertai dengan niat beribadah kepada Allah,  dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Keutamaan Ibadah Shaum :
  1. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai. Hadits dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Nabi r bersabda :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ
“Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat jahil. ([2]) Bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” – dua kali – “ ([3])
2.  Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah U dibandingkan aroma wangi misk. [4])
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah r bersabda :

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada aroma misk di sisi Allah.”([5])
3. Ibadah shaum yang dilakukan ikhlash karena Allah pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri, berbeda dengan amalan ibadah lain yang dibalas oleh Allah dengan balasan sepuluh kali lipat atau sampai tujuh ratus kali lipat. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Seluruh amal manusia dilipatgandakan satu kebaikan dibalas dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Allah U berkata : “Kecuali amalan Shaum. Sesungguhnya dia hanya untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makannya ikhlash karena Aku.” [Muslim] [6])
4. Allah menyediakan pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Sahl bin Sa’d t, Nabi r berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
“Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan, yang masuk melaluinya pada Hari Kiamat orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain mereka. Kemudian diserukan, “Mana orang-orang yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tak ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaqun 'Alaih]. ([7])

Dalam riwayat lain juga dari hadits Sahl bin Sa’d t, dengan tambahan :

(( مَنْ دَخَلَ مِنْهُ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي وأحمد]
“Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([8])

Keutamaan Ramadhan dan Shaum Ramadhan secara khusus
  1. Shaum Ramadhan berfungsi sebagai penebus dosa.
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r berkata :

(( اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ ))

“Shalat lima waktu, (shalat) Jum’at ke (shalat) Jum’at berikutnya, (shaum) Ramadhan ke (shaum) Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa selama ia masih berupaya meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR. Muslim] ([9])

2. Shaum Ramadhan salah satu sebab pengampunan Allah terhadap dosa-dosanya yang telah lalu.
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda :

(( وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun 'alaihi] ([10])
3. Dibukanya pintu-pintu langit, ditutupnya Pintu An-Nar dan diikatnya para syaithan.
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah r bersabda :

(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ ))
“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan. [Muttafaqun 'alaihi] ([11])
Namun yang dimaksud adalah  jenis syaithan yang paling jahat, sebagaimana dalam hadits : Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah r berkata :

« إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، … »
Jika pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis maradatul jin (jin yang paling durhaka), … “ (Ibnu Khuzaimah)

[1] Lihat Tafsir Ibni Katsir tafsif surat Maryam ayat 26.
[2] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[3] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[4] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang  yang bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil I/106 .
[5] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[6] Muslim 1151
[7] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[8] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/335. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[9] Muslim 233
[10] Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[11] Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[Klik Download Lengkapnya Disini]

Mengenalkan Anak Pada Tauhid

Oleh: Al Ustadz Ayip Syafruddin
Saat anak mampu berbicara, kenalkanlah pada kalimat tauhid La Ilaaha Illallah, Muhammad Rasulullah, ajari cara mengucapkannya dengan talqin yaitu dengan cara orang tua mengucapkan kalimat tauhid lalu anak menirukannya. Biasakan anak mendengar kalimat thayyibah ( La ilaaha illallah). Dengan sering memperdengarkan kalimat tersebut diharap memudahkan anak untuk menirukannya.
Ajari juga anak mengenal Allah Ta’ala, seperti mengajari bahwa Allah Ta’ala berada diatas langit, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar apa saja yang dibicarakan manusia. Dengan ilmu Allah, Dia senantiasa mengawasi makhluk-Nya. Demikian dijelaskan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Tuhfatul wadud bi Ahkamil Maulud.
Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hakam As-Sulaimi radhiyallahu ‘anhu, melalui metode dialog, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajari seorang budak anak wanita berkenaan tentang tauhid. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada anak wanita tersebut, “Dimana Allah?”. Anak wanita itu pun menjawab “Allah di atas langit”. Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapa saya?” Jawab gadis belia, “Engkau Rasulullah (utusan Allah).” Kemudian Rasulullah memerintahkan agar anak wanita itu dibebaskan dari status budaknya, “Dia seorang mukminah”(HR: Abu Daud No.930) di shahihkan Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah).
Begitulah metode belajar yang di contohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, ringan, mengalir dan tidak terkesan kaku. Metode demikian akan mampu menggugah rasa keingin tahuan anak yang lebih luas dan dalam. Anak dibawa untuk berfikir secara ramah dan tidak terkesan memaksa.
Mengajari tauhid merupakan metode para Nabi dan Rasul Allah. Para Nabi dan Rasul Allah menyampaikan kepada ummat tentang tauhid. Bahkan, menyampaikan masalah tauhid adalah perkara yang pertama dan utama, karena dengan memahami dan meyakini perkara tauhid akan menjauhkan diri dari kesyirikan.
Nabi Hud yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib yang diutus kepada penduduk Madyan, mereka semua para Nabi menyampaikan pesan dakwah tauhid,
أُعْبُدُ اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلآهٍ غَيْرُهُ
“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah (sesembahan) bagimu (yang berhak diibadahi) selain-Nya.”(Al-A’raf: 65, 78, 85).

Demikian sunnah para nabi dan rasul, bersemangat dalam menyampaikan dakwah tauhid. Tentu saja, anak yang merupakan buah hati jangan sampai terlupakan untuk diajari tentang tauhid. Tanamkan iman didalam dadanya, semoga sang anak tumbuh menjadi insan yang shalih serta senantiasa mentauhidkan Rabb-nya. Amiin…
Wallahu A’lam

Sumber :Salafy.or.id

Jual Kaos Tangan Akhwat

Kmi tawarkan juga kepada pelanggan kaos tangan khusus akhwat,yang terbuat dari bahan kaos yang empuk,lentur,menghisap keringat,sehingga nyaman di pakai.Ada warna hitam.biru dongker.coklat.panjangnya sampai siku.Harga jual Rp 12.000,00.