Rabu, 31 Oktober 2012

SEPENINGGAL RASULULLAH

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits) Sikap Ali z Terhadap Kekhalifahan ash-Shiddiq z Sebagian orang bersandar pada beberapa riwayat tentang keterlambatan Ali membai’at Abu Bakr bahwa Ali tidak senang akan kekhalifahan ash-Shiddiq z. Mereka menyatakan bahwa bai’at yang dilakukan Ali hanya satu kali, yaitu sesudah Fathimah x wafat. Sebetulnya, tidaklah demikian, karena Ali berbai’at kepada Abu Bakr dua kali. Yang pertama ketika kaum muslimin membai’at Abu Bakr di Saqifah (gubug)Bani Sa’idah, yang kedua adalah sesudah wafatnya Fathimah bintu Rasulullah n. Inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Katsir t dalam kitab al-Bidayah, setelah terjadinya bai’at yang kedua, banyak orang mengira bahwa Ali belum berbai’at selain hari itu. Padahal, sudah dimaklumi oleh mereka yang memahami kaidah fikih, bahwa yang menetapkan didahulukan dari yang meniadakan. Wallahu a’lam. Bai’at Ali yang pertama, diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri z, yang mengisahkan sebagai berikut. Setelah Rasulullah n wafat, beberapa ahli pidato Anshar berbicara, salah seorang dari mereka mengatakan, “Hai kaum Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah n mengangkat petugas dari kalangan kalian, beliau menyertakan pula salah seorang dari kami sebagai pendamping. Oleh karena itu, kami memandang bahwa urusan (kekhalifahan) ini harus ditangani dua orang, satu dari kalian dan satunya dari kami.” Akhirnya, berturut-turut berdirilah beberapa ahli pidato Anshar mendukung gagasan ini. Kemudian, bangkitlah Zaid bin Tsabit z lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah n berasal dari golongan Muhajirin sehingga imam (pemimpin) harus dari kaum Muhajirin. Adapun kita adalah Anshar (para penolong/pembela) khalifah itu, sebagaimana dahulu kita adalah Anshar Rasulullah n.” Setelah itu bangkitlah Abu Bakr z, lalu berkata, “Semoga Allah memberi kalian balasan yang baik, wahai golongan Anshar, mengokohkan pembicara kalian. Seandainya kalian tidak berbuat demikian, tentu kami tidak akan berunding dengan kalian.” Tiba-tiba Zaid bin Tsabit z memegang tangan Abu Bakr dan berkata, “Inilah khalifah kalian. Kalian bai’atlah dia!” Lalu, mereka pun berbai’at. Setelah Abu Bakr duduk di atas mimbar, dia memerhatikan kaum muslimin, tetapi tidak melihat Ali. Abu Bakr menanyakan di mana Ali. Beberapa orang Anshar segera berdiri dan memanggil Ali ke hadapan Abu Bakr. Abu Bakr berkata, “Putra paman Rasulullah n dan menantu beliau. Apakah engkau mau memecah belah persatuan kaum muslimin?” Ali berkata, “Tidak ada celaan, wahai khalifah Rasulullah.” Ali pun berbai’at. Kemudian Abu Bakr menanyakan di mana Zubair bin ‘Awam z, karena tidak melihatnya di antara kaum muslimin. Setelah Zubair datang, Abu Bakr bertanya, “Putra bibi Rasulullah n, apakah engkau mau memecah belah persatuan kaum muslimin?” Zubair juga menjawab seperti jawaban Ali, lalu dia pun berbai’at. Menurut al-Hakim, riwayat ini sahih, sesuai dengan syarat Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mencantumkan dalam kitab mereka. Mengapa Ali perlu memperbarui bai’atnya hingga wafatnya Fathimah? Hal itu karena Fathimah sangat bersedih atas kepergian ayahandanya, Rasulullah n. Kesedihan itu semakin bertambah berat ketika muncul ganjalan dalam hatinya melihat Abu Bakr bersikukuh dengan hadits yang didengarnya dari Rasulullah n, ayahandanya, bahwa para nabi dan rasul tidak mewariskan harta. Apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah. Fathimah belum puas dengan jawaban Abu Bakr, dan tetap mendesak. Abu Bakr ash-Shiddiq tetap bertahan, dan dengan lemah lembut menerangkan bahwa harta yang ditinggalkan oleh Rasulullah n tidak berlaku sebagai warisan untuk anak cucu beliau, tetapi sedekah bagi kaum muslimin. Sejak saat itu, beliau menutup diri dari orang banyak. Kesedihan yang bertumpuk membuat beliau x akhirnya tidak bisa tertawa lagi sampai beliau wafat—enam bulan sesudah Rasulullah n wafat. Keadaan Fathimah x ini menyebabkan Ali tertahan untuk menemui orang banyak, lebih-lebih khalifah Rasulullah n. Ali selalu mendampingi dan menghibur Fathimah. Melihat kejadian ini, orang-orang yang tidak mengerti, terutama kaum munafikin mulai mengembuskan kabar bohong bahwa Ali tidak pernah keluar karena tidak suka Abu Bakr dibai’at sebagai khalifah. Setelah Ali membai’at Abu Bakr, hilanglah berita itu dan jelaslah bagaimana sikap Ali khususnya, dan ahli bait umumnya. Sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa ketika Fathimah sakit, Abu Bakr sempat membesuknya dan meminta keridhaannya, lalu Fathimah pun meridhainya. Apa pun, bagi kita kaum muslimin, kita meyakini bahwa tidak mungkin Fathimah menyimpan kebencian dan dendam terhadap ash-Shiddiq, lelaki yang sangat dicintai oleh ayahandanya, Rasulullah n. Bahkan, seandainya Rasulullah n mengangkat seorang manusia sebagai khalil (kedudukan cinta yang paling tinggi), niscaya beliau akan mengambil Abu Bakr sebagai khalil. Suatu hari, Fathimah x, pernah diutus oleh istri-istri Rasulullah n yang lain untuk meminta keadilan. Ketika itu, Rasulullah n sedang berada dalam rumah ‘Aisyah, putri ash-Shiddiq c. Setelah menyampaikan keperluannya, Rasulullah n bertanya kepada sang putri yang paling dicintainya itu, “Wahai putriku. Apakah engkau mencintai apa yang Ayah cintai?” “Tentu,” jawab Fathimah. Lalu beliau x kembali menemui istri-istri Ayahandanya yang lain.1 Fathimah tidak mungkin mendustai Ayahandanya yang sangat dipuja dan dicintainya, bahwa dia mencintai pula apa-apa yang dicintai oleh Ayahandanya. Fathimah tidak mungkin menyelisihi Ayahandanya, apalagi mengingkari beliau n dalam setiap ketetapan dan tindakan beliau. Lebih-lebih lagi, salah satu bukti cinta adalah mencintai apa yang dicintai oleh kekasih yang kita cintai. Oleh sebab itu, tidak mungkin pula Fathimah membenci ‘Aisyah, apalagi ayahnya, ash-Shiddiq z, yang sangat diistimewakan oleh Rasulullah n. Begitu pula Ali bin Abi Thalib dan ahli bait lainnya. Hanya orang-orang yang kurang akal, baik dari kalangan Syi’ah maupun orientalis, yang bersikukuh dengan kebohongan yang muncul seputar kisah ini. Semoga Allah l tidak memperbanyak mereka. Melepas Pasukan Usamah z Sementara itu, pasukan Usamah masih belum berangkat karena wafatnya Rasulullah n. Setelah jasad suci Rasulullah n dikuburkan, Abu Bakr dibai’at sebagai khalifah, beliau kembali menyiapkan pasukan Usamah dan memerintahkan mereka agar segera berangkat. Para sahabat kembali mengingatkan beliau. Dalam suasana tegang, saat beberapa kabilah di sekitar Madinah mulai murtad dan ingin memberontak, seharusnya pasukan Usamah tetap bertahan di Madinah. Akan tetapi, sekali ash-Shiddiq selamanya ash-Shiddiq. Beliau pernah menyatakan tidak akan meninggalkan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah n, khawatir kalau dia meninggalkannya, dia pasti binasa. Beliau pun berkata, “Demi Allah, seandainya anjing-anjing kota Madinah menggigiti baju istri-istri Rasulullah n, aku tetap akan melepas pasukan Usamah yang sudah disiapkan oleh Rasulullah n.” Akhirnya, para sahabat menerimanya. Setelah itu sambil berjalan kaki, Khalifah Rasulullah n keluar ikut mengantar pasukan itu ke gerbang kota Madinah. Kemudian, Abu Bakr meminta kesediaan Usamah sebagai panglima untuk mengizinkan ‘Umar bin al-Khaththab tinggal sebagai teman bermusyawarah. Usamah mengabulkan permintaan Khalifah. Berangkatlah pasukan Usamah menuju daerah tempat ayahandanya, Zaid bin Haritsah z, terbunuh. Sesampainya di sana, tidak terjadi pertempuran berarti. Akhirnya pasukan itu kembali dengan aman. Beberapa kabilah ‘Arab yang ingin menyerang Madinah segera mengurungkan niatnya ketika mendengar keberangkatan pasukan Usamah. Kalau kaum muslimin mampu mengirim pasukan, berarti di dalam kota masih ada pasukan lain yang berjaga-jaga. Itulah dugaan mereka. Demikianlah pertolongan Allah l kepada kaum muslimin. Setelah Rasulullah n wafat, orang-orang munafik mulai berani menampakkan jati diri. Beberapa kabilah ‘Arab juga sudah ada yang murtad. Orang-orang Yahudi dan Nasrani juga diam-diam mengintai kelemahan kaum muslimin. Akhirnya, kaum muslimin bagai anak ayam kehilangan induk hingga Allah l menyatukan mereka di bawah kepemimpinan Abu Bakr z. Musailamah al-Kadzdzab (Si Pendusta) Belum berbilang hari sejak Rasulullah n wafat, kaum muslimin mulai dihadapkan pada berbagai cobaan. Bahkan, belum lagi Rasulullah n wafat, sudah mulai muncul fitnah. Suatu ketika, datang dua utusan Musailamah menemui Rasulullah n dan menyerahkan surat dari Musailamah. Rasulullah n bertanya kepada keduanya, “Apakah kamu berdua mengakui bahwa saya adalah Rasul Allah?” “Kami mengakui bahwa Musailamah adalah utusan Allah,” jawab mereka. Rasulullah n berkata, “Demi Allah, seandainya bukan karena larangan membunuh utusan, niscaya saya penggal leher kamu berdua.” Isi surat Musailamah itu berbunyi: Bismillahirrahmanirrahim, dari Musailamah utusan Allah, kepada Muhammad (n) utusan Allah. Sesungguhnya aku diberi kedudukan yang sama denganmu, jadi dunia ini separuh untuk kami dan separuh untuk Quraisy, tetapi orang-orang Quraisy melampaui batas. Rasulullah n membalas surat itu. Bismillahirrahmanirrahim. Keselamatan atas mereka yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du, bumi ini milik Allah l, Dia mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.2 Ketika Musailamah datang bersama Bani Hanifah, Rasulullah n pernah berkata kepadanya, “Engkaulah yang kulihat dalam mimpi. Tsabit yang akan menjawab keperluanmu.” Kemudian beliau n meninggalkannya. Ibnu ‘Abbas c, bertanya-tanya apa maksud ucapan Rasulullah n, ‘Engkaulah yang kulihat dalam mimpi’? Abu Hurairah z menerangkan kepadanya bahwa Rasulullah n pernah bermimpi melihat di tangannya ada dua buah gelang emas, lalu beliau meniup kedua gelang itu hingga lenyap. Kemudian beliau menakwilkannya, yang satu adalah pendusta dari Yamamah, sedangkan yang satunya adalah pendusta dari Shan’a.3 Seperti telah diuraikan bahwa Musailamah sudah berani mengaku-aku sebagai nabi, sejak Rasulullah n masih hidup. Sebelum ‘Amr bin al-‘Ash masuk Islam, dia pernah bertemu dengan Musailamah al-Kadzdzab. Musailamah bertanya kepadanya, “Apa yang sudah turun kepada orang ini (Muhammad n)?” “Turun kepadanya satu surat pendek yang sangat indah bahasanya,” kata ‘Amr. Musailamah meminta ‘Amr menyebutkannya. ‘Amr yang ketika itu belum masuk Islam membacakan surat al-‘Ashr sampai selesai. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3) Setelah ‘Amr membacakannya, Musailamah berpikir sejenak, lalu berkata, “Diturunkan juga kepadaku yang serupa itu.” “Apakah itu?” kata ‘Amr. Kemudian Musailamah mengucapkan, يَا وَبْرُ يَا وَبْرُ إِنَّمَا أَنْتَ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ وَسَائِرُكَ حَفْرٌ نَقْرٌ “Wahai marmut, wahai marmut. Engkau hanyalah dua daun telinga dan dada. Adapun selebihnya adalah hina dan berpenyakit.” Lalu dia melanjutkan, “Bagaimana menurutmu, hai ‘Amr?” Dengan tegas ‘Amr menyatakan di hadapan Musailamah, “Demi Allah, sungguh engkau sudah tahu bahwa aku tahu kalau engkau dusta.” Bahkan, salah seorang pengikut Musailamah sendiri, Thalhah an-Namari, berkata kepada Musailamah, “Saya bersaksi bahwa engkau dusta, sedangkan Muhammad (n) adalah orang yang jujur. Tetapi, pendusta dari suku Rabi’ah (kabilah Musailamah) lebih aku sukai daripada orang jujur dari Mudhar (kabilah Rasulullah n).” Menumpas Orang-Orang Murtad Sepeninggal Rasulullah n, beberapa kabilah Arab mulai enggan menunaikan zakatnya. Kata mereka, “Kalau Muhammad (n) itu seorang nabi, tentu dia tidak akan mati.” Orang-orang yang cerdik pandai di antara mereka berusaha menasihati dan mengingatkan, “Coba terangkan tentang nabi-nabi yang dahulu. Apakah kamu mengakui nubuwah mereka?” “Ya,” kata orang-orang yang murtad itu. Orang-orang yang cerdik pandai itu bertanya lagi, “Apakah mereka mati?” “Ya,” kata orang-orang yang murtad itu lagi. “Lantas, apa yang kalian ingkari dari nubuwah Muhammad (n)?” Ternyata, nasihat dan peringatan itu sia-sia, mereka tetap dalam kemurtadan. Akhirnya, Abu Bakr z menyiapkan pasukan untuk memerangi masing-masing kabilah yang murtad; satu kabilah diserang oleh sepasukan tentara kaum muslimin. Padahal, saat itu, kaum muslimin sedang memusatkan diri pada pengiriman pasukan Usamah yang sudah dilepas oleh Rasulullah n sebelum wafat. Mulanya, para sahabat mempertanyakan apa alasan Abu Bakr memerangi mereka yang murtad atau yang tidak mau menunaikan zakat itu. Abu Bakr menjelaskan bahwa zakat adalah hak harta yang harus ditunaikan. Seandainya mereka tidak mau memberikan seutas tali yang dahulu pernah mereka tunaikan kepada Rasulullah n, Abu Bakr tetap akan memerangi mereka. Akhirnya, para sahabat menerima alasan Abu Bakr z. (insya Allah bersambung) Catatan Kaki: 1 HR. al-Bukhari no. 2581 dan Muslim no. 2442. 2 Kejadian ini di akhir tahun kesepuluh hijriyah, menurut Ibnu Ishaq. Wallahu a’lam. 3 HR. al-Bukhari no. 4373 dan Muslim no. 227 Di Salin dari majalah asy syari'ah Edisi 077

Selasa, 23 Oktober 2012

KEUTAMAAN 10 HARI DI AWAL DZULHIJJAH

Rasulullah bersabda : Tidak ada satu amal sholeh yang lebih di cintai oleh allah melebihi amal sholeh yang di lakukan pada hari-hari ini (sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah), para sahabat bertanya :Wahai Rasulullah ,tidak pula jihad di jalan allah, kecuali orang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya ,kemudian kembali tanpa membawa sesuatupun (HR,Abu Dawud n0.2438, Shohih )

Sabtu, 20 Oktober 2012

PAKET A Q I Q O H baik dengan tarif maupun sesuai dana yang tersedia.

AMANAH CATERING Bertolah dari menjalin kehidupan rumah-tangga yang di naungi sendi-sendi islami,maka sejuta harapan di pelupuk mata kedua mempelai pengantin mengarungi kehidupan. Angan-angan yang dulu cuma terbayang di lamunan kini terbukti,di hadapan sang suami telah berdiri sosok wanita yang baru ajaa di kenal,belum tahu secara detail bagaimana kemauan,idola,hoby,hal-hal yang dinsukai dan dan berpuluh-puluh bahkan tidak terhitung lagi pertanyaa. Demikian juga bagi pihak wanita,bahkan lebih banyak lagi pertanyaan apalagi di dukung wanita itu tabiatnya P E R A S A A N.Tapi bagi seorang muslim tak usah risau karena di sana(islam)telah menuntunkan dan mengajarkan berbagai masalah RUMAH-TANGGA. hari-hari pernikahan berlalu seminggu, sebulan,tak terasa sang istri udah hamil\mengandung.Sekarang udah masuk bulan ke-8.Sang suami yang sholih mengaharapkan anaknya nanti kalo lahir ingin melaksanakan AQIQOH.Sang suami ingin melaksanakan sunnah rosul ,dengan mencukur rambut si buah-hati,memberi nama,menyembelih kambing,kalo laki-laki 2 kambing,sedangkan kalo perempun 1 kambing. Terdengar TANGISAN bayi si kecil,si buah hati membuat kedua orang-tua menyonsong dengan senang,kehidupan keluarga itu tambah gembira dengan lahirnya danbaan-hati. Seorang muslim dengan lahirnya si kecil yang saat itu udah punya persiapan finansiel segera melaksanakan A Q I Q A H.Namun di sana ada juga keluarga yang hadir di tengah-tengah mereka si kecil belum bisa melaksanakan aqiqoh.Mereka baru melaksanakannya selang waktu. Moto kami ;BERUPAYA MEMBANTU MELAKSANAKAN HAJAT ANDA ; kami mempunyai tarif untuk beberapa paket A QI Q O H. Namun kami juga melayani sesuai dengan kemampuan finansial anda.Insyaallah Anda contak kami, segera kami datang,menawarkan pilihan.ada paket dengan tarif atau dananya untuk aqiqoh ada berapa,insyaalllah kami membantu anda melaksanakan aqiqoh. Dengan catatan:besar-kecilnya kambing tidak memilih,menu sesuai dananya. Tapi kalo yang lahir laki-laki tetap 2 kambing,kalo yang lahir perempuan 1 kambing.

Kamis, 18 Oktober 2012

SHADAQAH BUKTI KEIMANAN KITA

Oleh: Abu Umar al Bankawy Kehidupan seorang manusia akan berakhir pada kematian, dan setelah itu dia akan dibangkitkan di hari kiamat. Pada hari itu harta dan anak keturunannya tidak akan dapat memberinya manfaat. Yang bisa dia lakukan hanyalah melihat seberapa banyak kebaikan yang telah dia lakukan dan seberapa banyak dosa dan kejahatan yang dia lakukan. Allah ta’ala berfirman, يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ * فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka balasan amalan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” (QS Al Zalzalah: 6-8) Di antara kebaikan yang akan bermanfaat bagi seorang manusia kelak di akhirat adalah shadaqah yang dia berikan ketika dia hidup di dunia. Allah ta’ala berfirman, وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ “Dan barang-barang baik yang engkau semua nafkahkan itu adalah untuk dirimu sendiri dan engkau semua tidak menafkahkannya melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah, juga barang-barang baik yang engkau semua nafkahkan itu, niscaya akan dibalas kepadamu dan tidaklah engkau semua dianiaya.” (al Baqarah: 272) Shadaqah adalah Bukti Keimanan Salah satu bukti keimanan seorang muslim adalah shadaqah. Ini ditunjukkan dalam hadits dari sahabat Al Harits bin Ashim Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمان ، والحَمدُ لله تَمْلأُ الميزَانَ ، وَسُبْحَانَ الله والحَمدُ لله تَملآن – أَوْ تَمْلأُ – مَا بَينَ السَّماوات وَالأَرْضِ، والصَّلاةُ نُورٌ ، والصَّدقةُ بُرهَانٌ “Bersuci adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan, ‘subhanallah walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, shalat adalah cahaya, dan shadaqah itu merupakan bukti.” (HR. Muslim) Kenapa shadaqah disebut sebagai bukti keimanan? Hal ini karena harta adalah perkara yang dicintai oleh jiwa kita. Berat bagi diri kita untuk melepaskannya. Sehingga ketika seseorang merelakan hartanya tersebut di jalan Allah, maka ini adalah bukti yang menunjukkan kecintaannya kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka kita lihat sendiri, semakin tinggi keimanan seseorang, semakin banyak pula dia bershadaqah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling tinggi keimanannya. Beliau tidak pernah tanggung-tanggung dalam bershadaqah. Pernah beliau menyedekahkan kambing beliau. Apakah satu ekor, atau dua ekor saja? Tidak. Beliau bershadaqah dengan satu lembah kambing. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkisah, وَلَقَدْ جَاءهُ رَجُلٌ ، فَأعْطَاهُ غَنَماً بَيْنَ جَبَلَيْنِ ، فَرجَعَ إِلَى قَوْمِهِ ، فَقَالَ : يَا قَوْمِ ، أسْلِمُوا فإِنَّ مُحَمَّداً يُعطِي عَطَاءَ مَن لا يَخْشَى الفَقْر ، وَإنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيُسْلِمُ مَا يُريدُ إِلاَّ الدُّنْيَا ، فَمَا يَلْبَثُ إِلاَّ يَسِيراً حَتَّى يَكُونَ الإسْلاَمُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا Seorang lelaki datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi pun memberikannya kambing yang berjumlah satu lembah. Orang tersebut lalu kembali kepada kaumnya dan berkata, “Wahai kaumku, masuk Islamlah kalian! Sesungguhnya Muhammad telah memberikan suatu pemberian, dia tidaklah khawatir akan miskin”. Orang itu masuk Islam karena menginginkan dunia namun begitu dia masuk Islam, Islam itu lebih dicintai dari dunia dan seisinya. (HR. Muslim) Shadaqah Sebab Turunnya Keberkahan Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, Pada suatu ketika ada seorang lelaki berjalan di suatu tanah lapang, lalu ia mendengar suara dari dalam awan, “Siramlah kebun si Fulan itu!” Kemudian menyingkirlah awan itu menuju ke tempat yang ditunjukkan, lalu menghabiskan airnya di atas tanah lapang berbatu hitam itu. Tiba-tiba sesuatu aliran air dari sekian banyak aliran airnya itu mengambil air hujan itu seluruhnya, kemudian orang tadi mengikuti aliran air tersebut…. Sekonyong-konyong tampaklah olehnya seorang lelaki yang berdiri di kebunnya mengalirkan air itu dengan alat keruknya. Orang itu bertanya kepada pemilik kebun, “Wahai hamba Allah, siapakah namamu?” Ia menjawab, “Namaku Fulan,” dan nama ini cocok dengan nama yang didengar olehnya di awan tadi. Pemilik kebun bertanya, “Mengapa Anda menanyakan namaku?” Orang itu menjawab, “Sesungguhnya saya tadi mendengar suatu suara di awan yang inilah air yang turun daripadanya. Suara itu berkata, ‘Siramlah kebun si Fulan itu!’ Nama itu sesuai benar dengan nama Anda. Sebenarnya apakah yang Anda lakukan?” Pemilik kebun menjawab, “Adapun Anda menanyakan semacam ini, karena sesungguhnya saya selalu benar-benar memperhatikan hasil yang keluar dari kebun ini. Kemudian saya bershadaqah dengan sepertiganya, saya makan bersama keluarga saya yang sepertiganya dan saya kembalikan pada kebun ini yang sepertiganya pula (sebagai bibit).” (HR. Muslim) Lihatlah betapa shadaqah telah menjadi sebab petani tersebut diberikan keberkahan oleh Allah ta’ala dengan menyedekahkan sepertiga dari hasil pertaniannya. Harta Tidak Akan Berkurang Bila Dishadaqahkan Sebagian orang mungkin mengira kalau ketika harta dishadaqahkan maka dia akan berkurang. Ini tidaklah benar. Di dalam sebuah hadits dari Abu Kabsyah Umar bin Sa’ad al Anmari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَال ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً ، وَمَا تَواضَعَ أحَدٌ لله إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ – عز وجل - “Tidaklah shadaqah itu mengurangi banyaknya harta. Tidaklah Allah itu menambahkan pada diri seseorang sifat pemaaf, melainkan ia akan bertambah pula kemuliaannya. Juga tidaklah seorang itu merendahkan diri karena Allah, melainkan ia akan diangkat pula derajatnya oleh Allah ‘azza wajalla.” (HR. Muslim) Harta yang dia shadaqahkan akan diganti oleh Allah ta’ala, sebaliknya bila dia menahan shadaqahnya maka Allah akan tahan pula curahan nikmat-Nya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا مِنْ يَوْمٍ يُصبحُ العِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزلانِ ، فَيَقُولُ أحَدُهُمَا : اللَّهُمَّ أعْطِ مُنْفِقاً خَلَفاً ، وَيَقُولُ الآخَرُ : اللَّهُمَّ أعْطِ مُمْسِكاً تَلَفاً “Tiada seharipun yang sekalian hamba memulai paginya pada hari itu, melainkan ada dua malaikat yang turun. Seorang di antara keduanya itu berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menafkahkan itu akan gantinya,’ sedang yang lainnya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menahan itu kerusakan pada hartanya.” (Muttafaq ‘alaih) Dari Asma’ binti Abu Bakar ash Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, لاَ تُوكِي فَيُوكى عَلَيْكِ. وفي رواية : أنفقي أَوِ انْفَحِي ، أَوْ انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ “Jangan engkau menyimpan apa-apa yang ada di tanganmu, sebab kalau demikian maka Allah akan menyimpan terhadap dirimu (rezeki akan ditahan oleh Allah –pent.) Dalam riwayat lain disebutkan, “Nafkahkanlah, atau berikanlah atau sebarkanlah dan jangan engkau menghitung-hitungnya, sebab kalau demikian maka Allah akan menghitung-hitung juga karunia yang akan diberikan padamu. Jangan pula engkau menahan (menunda-nunda) shadaqahmu, sebab kalau demikian maka Allah akan mencegah pemberian-Nya padamu.” (Muttafaq ‘alaih) Demikian sedikit pembahasan tentang shadaqah dan keutamaannya. Sebenarnya masih banyak lagi keutamaan shadaqah, tapi kita cukupkan dengan apa yang telah disampaikan karena keterbatasan tempat. Dan terakhir, marilah kita semua senantiasa mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بشقِّ تَمْرَةٍ “Takutlah kalian dari api neraka, walaupun hanya dengan (bersedekah) potongan kurma.” (Muttafaq ‘alaih) Semoga Allah ta’ala menjadikan diri kita gemar bershadaqah dan menjadikan shadaqah kita sebagai benteng kita dari azab-Nya yang pedih kelak di akhirat. Wallahu ta’ala a’lam. Sumber: - Syarah Riyadhis Shalihin, asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin. Di salin dari SALAFY. or.id tgl 17 april 2012

Senin, 15 Oktober 2012

SHOLAT MENGGENDONG ANAK

Apakah seorang ibu boleh shalat sambil menggendong anaknya? Jawab: Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t menjawab, “Shalat wanita sambil menggendong anaknya tidak apa-apa bila anaknya dalam keadaan suci dan memang butuh digendong karena mungkin anaknya menangis dan bisa menyibukkan si ibu apabila tidak menggendongnya. Telah pasti kabar yang datang dari Nabi n yang menyebutkan beliau pernah shalat sambil menggendong cucu beliau Umamah bintu Zainab bintu Rasulullah n. Ketika itu Rasulullah n shalat mengimami orang-orang dalam keadaan Umamah dalam gendongan beliau. Bila berdiri, beliau menggendong Umamah dan di saat sujud beliau meletakkannya3. Apabila seorang ibu melakukan hal tersebut maka tidak apa-apa, tetapi yang lebih utama tidak melakukannya melainkan jika ada kebutuhan.” (Nurun ‘alad Darb, hlm. 17) Di salin dari majalah asy syariah EDISI 80

Sabtu, 13 Oktober 2012

HIDAYAH ITU MAHAL

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Di salin dr majalah asy syariah edisi 050 Pernahkah terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya? Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil… Ini tauhid, itu syirik…. Ini sunnah, itu bid’ah… Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al-haq, malah ia gampang berbuat kebatilan. Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang-benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan. Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup. Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekadar makan, minum, dan bersenang-senang di dalamnya. Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudariku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah l kepada jalan-Nya yang lurus. Dalam Tanzil-Nya, Allah l berfirman: “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213) Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah l berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah l maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31) Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat: beliau berkata, “Allah l tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah l mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.” Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah l. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah k berfirman: “Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf: 5) “Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110) [I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357] Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam: 1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat: “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52) 2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah l, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah n, terlebih selain beliau, dalam ayat: “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qashash: 56) Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah l semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau, 9/340-341) Saudariku, bersyukurlah kepada Allah l ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat yang haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat. Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah l hidayah kepada jalan yang lurus. “Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6) Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya? Al-Hafizh Ibnu Katsir t memberikan jawabannya: Allah l membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah l setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya, kecuali apa yang Allah l kehendaki. Allah k pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang bahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah k untuk memohon hidayah, karena Allah k telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di pengujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136) Dalam ayat ini, Allah k memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus-menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/38) Berbahagialah dengan hidayah yang Allah l berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari agama Allah k. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah k. Bergaullah dengan orang-orang shalih dan jauhi orang-orang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia. Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah k anugerahkan kepadamu. Satu lagi yang penting, jangan engkau jual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis. Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah: “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32) Kata Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi t, “Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24) Lalu apa persangkaanmu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di dalam hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. Sungguh setan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam. Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin …. Wallahu a’lam bish-shawab. Di ambil dari majalah asy syariah edisi 050

Rabu, 10 Oktober 2012

SIAPAKAH WAHABI?

Siapakah Wahabi Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 022 (ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi) Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi t1. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …? Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah n dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Di Najd dan sekitarnya: q Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai al-haq. q Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. q Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal.90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz) 2. Di dunia secara umum: Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid) Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) –sebelum keruntuhannya–. Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.2 Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162) Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muham-mad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejam-nya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi 1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi3, ingkar terhadap Hadits nabi4, merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau. Bantahan: q Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi n. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi n, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah. q Beliau berkata: “Nabi Muhammad n telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah I. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah I. Allah I mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul Ats-Tsalatsah) q Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling meng-ikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21) q Adapun tentang syafaat Nabi n, maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan syafaat Nabi n, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi n ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118) 2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait Bantahan: q Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah n mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446) q Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah. 3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11. Bantahan: q Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah5. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsma-niyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani. Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah–: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemim-pin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.” Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah n, dan bukan ajaran Khawarij. q Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muham-mad bin Abdul Wahhab dan para pengikut-nya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelah-nya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdur-rahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya6. q Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah I, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah n.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini. 4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.7 Bantahan: q Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mush-lihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203) 5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau mengguna-kan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.8 Bantahan: q Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah n, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75) q Beliau juga berkata –dalam surat-nya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani–: “Perhatikanlah –semoga Allah I merah-matimu– apa yang ada pada Rasulullah n, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah I meridhai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad-Durar As-Saniyyah 1/136) q Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah I, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah I. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah I (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133) 6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar) Bantahan: q Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memaha-mi hal ini dan merealisasikannya. Sesung-guhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahami-nya. Para ulama juga menyebutkan bahwa-sanya jika inkarul munkar akan menyebab-kan perpecahan, maka tidak boleh dilaku-kan. Aku mewanti-wanti kalian agar melak-sanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176) 7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan!9 Jawaban: q Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat. q Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak,10 di antaranya adalah: Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman11 dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.12 Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.13 Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.14 Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,15 Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,16 Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,17 Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri. Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.18 Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i. 8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghan-curkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka. Jawaban: q Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah I, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah I, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah I.”19 q Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah–.20 Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah I. Sementara Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah. q Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagai-mana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) penga-gungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengha-ramkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendiri-kan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/ bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah n.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286) Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muham-mad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti: q Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi q Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi. q Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib. q Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi. q ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud. q Da’watu Asy-Syaikh Muham-mad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ay-yidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb. Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasa-kan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan. Di Jazirah Arabia21 Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemak-siatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama atau-pun urusan dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiy-yah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah n dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid. Di Dunia Islam22 Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muham-mad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah I pun menyelimuti-nya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya, Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa. Pujian Ulama Dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya saja.23 1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman). Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad… bersambung ke hal. 73 Siapakah Wahhabi?… Sambungan dari hal. 11 … bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan: Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya 2. Al-Imam Asy-Syaukani t (Yaman). Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya: Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai 3. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir). Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan ada-lah untuk menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang dibawa Rasulullah n, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.” 4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al-Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah n dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.” 5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau –ketika dicap sebagai Wahhabi– berkata: Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi 6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar). Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pemba-haru yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.” 7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muham-mad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. 8. Asy-Syaikh Muhammad Nashi-ruddin Al-Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual) terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah I merahmatinya dan mengaruniainya pahala–, yang telah menge-luarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…” 9. Ulama Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari ini. Penutup Akhir kata, demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di Indonesia pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini dapat menjadi penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala berfikir untuk tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu. Wallahu a’lam bish-shawab. Catatan Kaki: 1 Biografi beliau bisa dilihat pada Majalah Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71. 2 Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/Musuh-musuh Dakwah Tauhid. 3 Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261. 4 Sebagaimana dalam Mishbahul Anam. 5 Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah. 6 Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir. 7 Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009. 8 Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim. 9 Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah. 10 Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171. 11 Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah. 12 Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir. 13 Hafizh negeri Hijaz di masanya. 14 Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb. 15 Ulama besar Madinah di masanya. 16 Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas. 17 Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif. 18 Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah. 19 Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119 20 Ibid, hal. 76. 21 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal. 140-145. 22 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal.146-149. 23 Untuk mengetahui lebih luas, lihatlah kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/37 Di kutip dr majalah asy syariah edisi 022.

Selasa, 09 Oktober 2012

JANGAN BIARKAN TANGAN ITU MERENGGUTMU

Jangan Biarkan Tangan Itu Merenggutmu Kategori: Majalah "Syariah" Edisi 3 Dunia telah menawarkan gemerlap perhiasannya. Di sana ada sisi-sisi kehidupan yang mengancam kehormatan kaum wanita. Tak layak kita lalai menelaah ancaman itu melalui untaian nasihat untuk mengingatkan setiap wanita muslimah yang menginginkan keselamatan. Saudariku muslimah, hendaknya engkau waspada akan bahaya hubungan yang haram dan segala yang berselubung “cinta” namun menyembunyikan sesuatu yang nista. Engkau pun hendaknya berhati-hati terhadap pergaulan bebas dengan para pemuda ataupun laki-laki tak bermoral yang ingin merampas kehormatanmu di balik kedok “cinta.” Duhai saudariku muslimah –semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya padamu– ada hal-hal yang semestinya engkau waspadai : Pertama, tabarruj1. Hati-hatilah, jangan sampai dirimu terjatuh dalam perangkapnya dan janganlah kecantikan yang Allah anugerahkan kepadamu membuatmu terpedaya. Sesungguhnya akhir dari sebuah kecantikan hanyalah bangkai yang menjijikkan dalam kegelapan kubur dan secarik kain kafan, beserta cacing-cacing yang merasa iri padamu dan merampas kecantikan itu darimu. Ingatlah saudariku, wanita yang bertabarruj berhak mendapatkan laknat, sebagaimana sabda Nabi r2: “Laknatilah mereka (wanita yang bertabarruj), karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terlaknat.” Bahkan beliau r telah bersabda3: “Dan wanita-wanita yang berpakaian namun (pada hakekatnya) telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk ke dalam jannah (surga), bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya jannah, padahal wanginya dapat tercium dari jarak sekian-sekian.” Tidakkah engkau ketahui, duhai saudariku, saat ini wanita telah menjadi barang dagangan yang murah. Buktinya adalah iklan-iklan televisi. Tidaklah engkau melihat iklan sepatu atau alat-alat olahraga, bahkan iklan kolam renang, pasti di sana ditayangkan sosok wanita. Di manakah gerangan orang-orang yang menuntut kebebasan kaum wanita? Sesungguhnya mereka menuntut kebebasan wanita bukanlah karena simpati atau iba terhadap wanita, justru mereka menuntut kebebasan itu agar dapat menikmati wanita! Satu bukti bahwa wanita itu tidak berharga di sisi mereka adalah ucapan salah seorang “serigala” tak bermoral. Ia menyatakan: “Gelas (khamr) dan perempuan cantik lebih banyak menghancurkan umat Muhammad daripada seribu senjata. Maka tenggelamkanlah mereka dalam cinta syahwat.” Tahukah dirimu, bagaimana para wanita diperdagangkan oleh orang-orang yang menuntut kebebasannya? Seakan-akan mereka berkata: Janganlah kau tertipu dengan senyumanku Karena kata-kataku membuatmu tertawa, Namun sesungguhnya perbuatanku membuatmu menangis Kedua, telepon. Berapa banyak sudah pemudi yang direnggut kesuciannya dan ditimpa kehancuran dalam kehidupannya? Bahkan sebagian di antara mereka bunuh diri. Semua itu tidak lain disebabkan oleh telepon. Coba engkau simak kisah ini! Sungguh, di dalamnya tersimpan pelajaran berharga. Ada seorang gadis berkenalan dengan seorang pemuda melalui telepon, kemudian mereka menjalin hubungan akrab. Seiring berlalunya waktu tumbuhlah benih-benih asmara di antara mereka. Suatu hari “serigala” itu mengajaknya pergi. Tatkala ia berada di atas mobil, lelaki itu menghisap rokok. Ternyata asap rokok itu membiusnya. Setelah sadar ia temukan dirinya berada di depan pintu rumahnya dalam keadaan telah dilecehkan kehormatannya. Ia mendapati dirinya mengandung anak hasil zina. Akhirnya gadis itu bunuh diri, karena ingin lari dari aib dan cela. Sungguh lelaki itu ibarat seekor serigala yang memangsa kambing betina. Setelah puas mengambil apa yang ia kehendaki, ia pergi dan meninggalkannya. Ketiga, khalwat4. Semestinya engkau jauhi khalwat, karena khalwat adalah awal bencana yang akan menimpamu, sebagaimana ucapan Nabi r5: “Tidaklah seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan kecuali yang ketiganya adalah setan.” Apabila setan datang padamu, ia akan menjerumuskanmu dalam musibah. Berapa banyak gadis yang diperdaya oleh lelaki tak bermoral, hingga terjadilah perkara yang keji. Semuanya dikemas dengan label “cinta”. Ada seorang gadis pergi berdua bersama pasangannya, lalu lelaki itu merayunya dengan kata-kata yang manis. Dikatakannya pada gadis itu, yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang indah dan menyenangkan. Akhirnya lelaki itu pun mengajaknya pergi ke tempat yang sunyi. Ketika sang gadis meminta untuk pulang, lelaki itu menolaknya, kemudian… Keempat, pergaulan yang jelek. Nabi r bersabda6: “Seseorang itu ada di atas agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang ia jadikan teman.” Wahai saudariku, ambillah pelajaran dari selainmu, sebelum engkau mengalami apa yang ia alami. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dapat memetik nasihat dari peristiwa yang menimpa orang lain, dan orang yang celaka adalah orang yang hanya bisa mendapat nasihat dari sesuatu yang menimpa dirinya sendiri. Akhirnya, segala puji hanyalah bagi Allah Rabb seluruh alam. (diterjemahkan dari kitab Ukhti Al-Muslimah Ihdzari Adz-Dzi`ab karya Salim Al-‘Ajmi oleh Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim) Catatan Kaki: 1 Tabarruj adalah berhias di depan selain mahramnya. 2 Diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad no. 7083 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau mengatakan: “Sanad hadits ini shahih.” 3 Diriwayatkan Al-Imam Muslim no. 2128. 4 Khalwat adalah berdua-duaan dengan selain mahram. 5 Shahih Sunan At-Tirmidzi karya Asy-Syaikh Al-Albani no. 1187 dan dalam Silsilah Ash-Shahihah karya beliau juga no. hadits 430. 6 Diriwayatkan Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, lihatlah Silsilah Ash-Shahihah karya Al-Imam Al-Albani no. 927. Di salin dari majalah asy syariah EDISI 03

Minggu, 07 Oktober 2012

JUBAH AL AZHAR

JUBAH AL AZHAR itulah nama dari sebuah model .Yang ini beda dengan jubah ikhwan/laki-laki yang banyak beredar di pasaran dan conveksi yang tersebar dari sabang sanpai merauke.Bentuknya hampir sama dengan jubah saudi namun ada belahan di depan,juga krah nya tidak ketemu antara sebelah kanan dan kiri.Dan ada kancing yang tertutup di dlmnya.penasaran silakan simak gbr ini.jangan heran dengan harganya yang tinggi,krn produk ini di buat orang tailor khusus,dengan pengerjaan yang extra hati-hati juga telaten.Dengan bahan khusus .Di dlmnya dilengkapi puring dan pelapis yang membuat jubah ini tanbah K E R E N,juga SYAR'I.Harga perdana Rp.670.000,00.

Rabu, 03 Oktober 2012

TATA CARA MENYEMBELIH HEWAN QURBAN

Tata Cara Menyembelih Hewan Qurban Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 036 (ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdullah Muhammad Afifuddin) Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum dan adab seputar penyembelihan hewan, baik itu qurban ataupun yang lain. I. Hewan sembelihan dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut: a. Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini merupakan syarat yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih, maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya adalah keumuman firman Allah l: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121) Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan hewan qurban. Dasarnya adalah hadits Anas z riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim (no. 1966), bahwa Nabi n berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk: وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ “Beliau membaca basmalah dan bertakbir.” b. Yang menyembelih adalah orang yang berakal. Adapun orang gila tidak sah sembelihannya walaupun membaca basmalah, sebab tidak ada niat dan kehendak pada dirinya, dan dia termasuk yang diangkat pena takdir darinya. c. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Untuk muslim, permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman Allah l: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5) Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf. Pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama, sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara Islam. Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah l, maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu a’lam. d. Terpancarnya darah Dan ini akan terwujud dengan dua ketentuan: 1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij z, dari Nabi n, beliau bersabda: مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ “Segala sesuatu yang memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968) Juga perintah Rasulullah n kepada Aisyah x ketika hendak menyembelih hewan qurban: يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ “Wahai Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967) 2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut. Faedah Pada bagian leher hewan ada 4 hal: 1-2. Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan 3. Al-Hulqum yaitu tempat pernafasan. 4. Al-Mari`, yaitu tempat makanan dan minuman. Rincian hukumnya terkait dengan penyembelihan adalah: - Bila terputus semua maka itu lebih afdhal. - Bila terputus al-wadjan dan al-hulqum maka sah. - Bila terputus al-wadjan dan al-mari` maka sah. - Bila terputus al-wadjan saja maka sah. - Bila terputus al-hulqum dan al-mari`, terjadi perbedaan pendapat. Yang rajih adalah tidak sah. - Bila terputus al-hulqum saja maka tidak sah. - Bila terputus al-mari` saja maka tidak sah. - Bila terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh Bulugh, 6/52-53) II. Merebahkan hewan tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak meronta hebat dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan. Diriwayatkan dari Anas bin Malik z, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah n: وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا “Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966) Juga hadits Aisyah x: فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ “Lalu beliau rebahkan kambing tersebut kemudian menyembelihnya.” III. Disunnahkan bertakbir ketika hendak menyembelih qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas z di atas, dan diucapkan setelah basmalah. IV. Bila dia mengucapkan: بِسْمِكَ اللَّهُمَّ أَذْبَحُ “Dengan nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”, maka sah, karena sama dengan basmalah. V. Bila dia menyebut nama-nama Allah l selain Allah, maka hukumnya dirinci. a. Bila nama tersebut khusus bagi Allah l dan tidak boleh untuk makhluk, seperti Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq, Ar-Razzaq, maka sah. b. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh makhluk, seperti Al-‘Aziz, Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah. VI. Tidak disyariatkan bershalawat kepada Nabi n ketika menyembelih, sebab tidak ada perintah dan contohnya dari beliau n maupun para sahabatnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/408) VII. Berwudhu sebelum menyembelih qurban adalah kebid’ahan, sebab tidak ada contohnya dari Rasulullah n dan salaf. Namun bila hal tersebut terjadi, maka sembelihannya sah dan halal dimakan, selama terpenuhi ketentuan-ketentuan di atas. VIII. Diperbolehkan berdoa kepada Allah l agar sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan Rasulullah n, beliau berdoa: اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ “Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” (HR. Muslim no. 1967, dari Aisyah x) IX. Tidak diperbolehkan melafadzkan niat, sebab tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama. Namun dia boleh mengucapkan: اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ فُلَانِ “Ya Allah, sembelihan ini dari Fulan.” Dan ucapan tersebut tidak termasuk melafadzkan niat. X. Yang afdhal adalah men-dzabh (menyembelih) sapi dan kambing. Adapun unta maka yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu disembelih dalam keadaan berdiri dan terikat tangan unta yang sebelah kiri, lalu ditusuk di bagian wahdah antara pangkal leher dan dada. Diriwayatkan dari Ziyad bin Jubair, dia berkata: Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar c mendatangi seseorang yang menambatkan untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum. Beliau c berkata: ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ مُحَمَّدٍ n “Bangkitkan untamu dalam keadaan berdiri dan terikat, (ini) adalah Sunnah Muhammad n.” (HR. Al-Bukhari no. 1713 dan Muslim no. 1320/358) Bila terjadi sebaliknya, yakni me-nahr kambing dan sapi serta men-dzabh unta, maka sah dan halal dimakan menurut pendapat jumhur. Sebab tidak keluar dari tempat penyembelihannya. XI. Tidak disyaratkan menghadapkan hewan ke kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan. Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu ‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2795) dan Ibnu Majah (no. 3121). XII. Termasuk kebid’ahan adalah melumuri jidat dengan darah hewan qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada contohnya dari Nabi n dan para salaf. (Fatwa Al-Lajnah, 11/432-433, no. fatwa 6667) Hukum-hukum Seputar Qurban Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya: 1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan dua hal: a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban) b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara: 1. Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing. 2. Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja. Diriwayatkan dari ‘Aisyah x, dia berkata: فَتَلْتُ قَلَائِدَ بُدْنِ رَسُولِ اللهِ n بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا “Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362) Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut telah di-ta’yin sebagai hewan qurban: 2) Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, dia berkata: Rasulullah n melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda: ارْكَبْهَا “Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717) Juga datang dari Anas bin Malik z (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah c (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir z sebagai berikut: ارْكَبْهَا بِالْـمَعْرُوفِ إِذَا أُلْـجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا “Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).” 3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti: a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka. b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan. c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana. d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak. Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah l: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36) 4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya. 5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan. 6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan. Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib z, dia berkata: أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ n أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُـحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالـَهَا عَلَى الْـمَسَاكِينِ وَلَا أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا “Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317) 7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci: - Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i. - Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah. - Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik - Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah. 8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya maka dia harus menggantinya. 9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin. 10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits: ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ “Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.” Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya. 11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa. Wallahu a’lam bish-shawab. Hukum-hukum dan Adab-adab Yang Terkait dengan Orang yang Berqurban 1. Syariat berqurban adalah umum, mencakup lelaki, wanita, yang telah berkeluarga, lajang dari kalangan kaum muslimin, karena dalil-dalil yang ada adalah umum. 2. Diperbolehkan berqurban dari harta anak yatim bila secara kebiasaan mereka menghendakinya. Artinya, bila tidak disembelihkan qurban, mereka akan bersedih tidak bisa makan daging qurban sebagaimana anak-anak sebayanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/427) 3. Diperbolehkan bagi seseorang berhutang untuk berqurban bila dia mampu untuk membayarnya. Sebab berqurban adalah sunnah dan upaya menghidupkan syi’ar Islam. (Syarh Bulugh, 6/84, bagian catatan kaki) Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai fatwa tentang diperbolehkannya menyembelih qurban walaupun belum dibayar harganya. (Fatawa Al-Lajnah, 11/411 no. fatwa 11698) 4. Dipersyaratkan hewan tersebut adalah miliknya dengan cara membeli atau yang lainnya. Adapun bila hewan tersebut hasil curian atau ghashab lalu dia sembelih sebagai qurbannya, maka tidak sah. إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا “Sesungguhnya Allah itu Dzat yang baik tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no. 1015 dari Abu Hurairah z) Begitu pula bila dia menyembelih hewan orang lain untuk dirinya, seperti hewan gadaian, maka tidak sah. 5. Bila dia mati setelah men-ta’yin hewan qurbannya, maka hewan tersebut tidak boleh dijual untuk menutupi hutangnya. Namun hewan tersebut tetap disembelih oleh ahli warisnya. 6. Disunnahkan baginya untuk menyembelih qurban dengan tangannya sendiri dan diperbolehkan bagi dia untuk mewakilkannya. Keduanya pernah dikerjakan Rasulullah n sebagaimana hadits: ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ “Rasulullah menyembelih kedua (kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966) Juga hadits ‘Ali bin Abi Thalib z yang telah lewat, di mana beliau diperintah oleh Rasulullah n untuk menangani unta-untanya. 7. Disyariatkan bagi orang yang berqurban bila telah masuk bulan Dzulhijjah untuk tidak mengambil rambut dan kukunya hingga hewan qurbannya disembelih. Diriwayatkan dari Ummu Salamah x, dia berkata: Rasulullah n bersabda: إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ “Apabila telah masuk 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berqurban, maka janganlah dia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977) Dalam lafadz lain: وَلَا بَشَرَتِهِ “Tidak pula kulitnya.” Larangan dalam hadits ini ditujukan kepada pihak yang berqurban, bukan pada hewannya. Sebab mengambil bulu hewan tersebut untuk kemanfaatannya diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada hadits di atas kembali kepada orang yang hendak berqurban. Larangan dalam hadits ini ditujukan khusus untuk orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau pihak yang disertakan, tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya. Sebab, yang disebut dalam hadits ini adalah yang berqurban saja. - Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum hewannya disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan sengaja. Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa. - Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari pertama Dzulhijjah, maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin qurbannya. - Orang yang mewakili penyembelihan hewan qurban orang lain, tidak terkena larangan di atas. - Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang mengharuskan dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya. Wallahu a’lam bish-shawab. 8. Disyariatkan untuk memakan sebagian dari hewan qurban tersebut. Dalilnya adalah firman Allah l: “Maka makanlah sebagian darinya.” (Al-Hajj: 28) Juga tindakan Rasulullah n yang memakan sebagian dari hewan qurbannya. 9. Diperbolehkan menyimpan daging qurban tersebut walau lebih dari tiga hari. Beliau n bersabda: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُـحُومِ الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ “Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah (simpanlah) semau kalian.” (HR. Muslim no. 1977 dari Buraidah z) 10. Disyariatkan untuk menyedekahkan sebagian dari hewan tersebut kepada fakir miskin. Allah l berfirman: “Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28) Juga firman-Nya: “Beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36) Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ الْفَقِيرَ adalah orang faqir yang menjaga kehormatan dirinya tidak mengemis padahal dia sangat butuh. Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid. Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ adalah orang yang meminta-minta daging qurban. Sedangkan الْـمُعْتَرَّ adalah orang yang tidak meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari t. 11. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kaya sebagai hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di kalangan muslimin. 12. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kafir sebagai hadiah dan upaya melembutkan hati. Sebab qurban adalah seperti shadaqah sunnah yang dapat diberikan kepada orang kafir. Adapun shadaqah wajib seperti zakat, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan yang dimaksud dengan kafir disini adalah selain kafir harbi. Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa tentang hal ini (11/424-425, no. 1997). 13. Diperbolehkan membagikan daging qurban dalam keadaan mentah ataupun masak. Diperbolehkan pula mematahkan tulang hewan tersebut. Demikian beberapa hukum dan adab terkait dengan qurban yang dapat dipaparkan pada lembar majalah ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab. Random Posts * Adzan dan Iqomat (bagian dua) * Abu Bakr Menunaikan Haji * Pengantar Redaksi edisi 11 * Tingkatan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar * Nabi Yusuf dan Istri Pembesar bagian 2 (sebuah Renungan) * Kisah Orang-Orang yang Terkurung didalam Gua * Jadikan Istirahatmu Bernilai Disisi Allah * Jangan Berebut

MENGHARAP BERKAH DENGAN SUNNAH

Mengharap Berkah dengan Sunnah Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 080 (ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan) Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mencintai sunnah Rasulullah n, baik dalam hal ilmu maupun amalan mereka, baik lahir maupun batin. Inilah ciri khas Ahlus Sunnah yang tidak dimiliki oleh golongan-golongan lainnya. Mengapa demikian? Karena dengan mengikuti sunnah Rasulullah n, mereka akan mendapatkan sekian banyak keutamaan. Di antaranya adalah mahabbah (kecintaan), maghfirah (ampunan), dan berkah dari Allah l. Allah l berfirman, ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31) Allah l juga berfirman, ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf: 96) Demikian juga Rasulullah n meriwayatkan dari Allah k dalam hadits qudsi, Allah l berfirman, وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ “Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z) Al-Imam Ibnu Katsir t berkata di dalam tafsirnya, “Kalau saja penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, maksudnya hati mereka mengimani apa yang dibawa oleh para rasul r, kemudian membenarkan dan mengikutinya, serta mereka bertakwa dengan melakukan ketaatan-ketaatan dan menjauhi larangan-larangan, maka sungguh Kami (Allah l) akan bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi; yaitu dengan air hujan (yang beberkah) dari langit dan tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan tanaman dari bumi. Tidak ada jalan untuk mendapatkan keutamaan tersebut selain dengan mengikuti sunnah Rasulullah n secara sempurna. Rabb kita k memerintahkan, ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208) Dalam ayat yang lain, Rabb kita k juga memerintahkan, ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7) Demikian pula Allah l menjadikan Rasulullah n sebagai uswatun hasanah bagi hamba-hamba-Nya dalam berbagai macam perkara agama, baik akidah, ibadah, muamalah, adab, dan lainnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya, ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿﰀ “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21) Hal yang menguatkan lagi adalah larangan menyelisihi sunnah Rasul n, karena ini adalah sumber musibah di dunia dan akhirat. Orang-orang yang mengharapkan keutamaan mahabbah, maghfirah, dan berkah akan memanfaatkan berbagai kesempatan untuk menggapai keutamaan tersebut. Sampai pun dalam hal rutinitas kehidupan mereka, seperti makan dan minumnya. Makan dan minum bagi mereka bukan sekadar kegiatan rutinitas dalam kehidupan mereka untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dunia semata. Akan tetapi bagi mereka, makan dan minum justru kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk mendapatkan keutamaan yang lebih dari itu, yaitu: mahabbah, maghfirah, dan berkah. Mereka berusaha ketika makan dan minum disertai dengan adab mulia yang dituntunkan oleh Rasulullah n, sehingga mereka menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah l, Dzat yang senantiasa mengaruniakan rezeki kepada mereka. Adapun adab-adab makan dan minum yang disyariatkan oleh Allah l dan Rasul-Nya adalah: 1. Bersyukur dan qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang ada di hadapannya, karena tidak ada suatu kenikmatan melainkan datang dari Allah l Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). (an-Nahl: 53) Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7) Rasulullah n bersabda, أَتُحِبُّونَ أَنْ تَجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ، قُولُوا: اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى شُكْرِكَ وَذِكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “Apakah kalian senang bersungguh-sungguh dalam doa-doa, ucapkanlah, ‘Ya Allah, tolonglah kami untuk senantiasa bersyukur kepada-Mu, menyebut-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu’.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah z, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam ash-Shahihul Musnad) Kemudian Rasulullah n bersabda tentang qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki yang ada sehingga selamat dari penyakit rakus dan serakah terhadap dunia. Sungguh bahagia orang yang masuk Islam, dikaruniai rezeki yang cukup, dan Allah l menjadikan dia merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya Nabi n menuntun kita untuk melihat orang yang lebih rendah dan miskin daripada kita sehingga kita senantiasa terdorong untuk bersyukur kepada Allah l. Abu Hurairah z berkata bahwa Rasulullah n bersabda, انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ “Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan kalian melihat orang yang berada di atas kalian. Dengan begitu, kalian lebih terdorong untuk tidak meremehkan nikmat-nikmat Allah l yang ada pada kalian.” (Muttafaqun ‘alaih, dan ini lafadz Muslim) 2. Tidak memakan dan meminum selain yang halal Allah l berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (al-Baqarah: 172) Rasulullah n dalam hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim t menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang sedang dalam perjalanan safarnya sampai rambut dan bajunya kusut serta berdebu. Kemudian dia menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit (berdoa) dalam keadaan makanan (yang dimakan) haram, pakaian (yang dia pakai) haram, dan diberi makanan dengan yang haram, maka bagaimana doanya akan dikabulkan. Dari ayat dan hadits di atas, Allah l dan Rasul-Nya memerintahkan untuk makan, minum, dan berpakaian dengan yang Allah l halalkan dan cara untuk mendapatkannya halal pula, karena suatu perkara yang haram akan menjadi pen yebab tidak diterimanya doa dan ibadah yang lainnya. Demikian pula harta yang haram akan menyusahkan pemiliknya di hadapan Allah l tatkala dia dimintai pertanggungjawaban atas harta yang ada pada dirinya. Allah l berfirman, “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (at-Takatsur: 8) Rasulullah n bersabda, لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ “Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia akan ditanya tentang umurnya dalam perkara apa dia habiskan, ilmunya dalam perkara apa dia amalkan, hartanya dari mana dia dapatkan, ke mana dia infakkan, dan tentang badannya dalam perkara apa dia gunakan.” (HR. at-Tirmidzi) Abu Abdillah an-Naji t berkata, “Ada lima perkara yang dengannya amalan itu sempurna: beriman dengan mengenali Allah l, mengilmui kebenaran, mengikhlaskan amalan karena Allah l, beramal di atas sunnah, makan makanan halal. Apabila salah satu dari kelima perkara tadi tidak ada (hilang), maka amalan tersebut tidak akan diangkat (diterima). Penjelasannya, apabila engkau mengenali Allah l dalam keadaan tidak mengilmui kebenaran, engkau tidak mendapatkan manfaat; apabila engkau mengilmui kebenaran dalam keadaan tidak mengenali Allah l, engkau pun tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila engkau mengenali Allah l dan mengilmui kebenaran tetapi tidak ikhlas, engkau tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila engkau mengenali Allah l, mengilmui kebenaran, dan ikhlas dalam beramal, tetapi tidak dibangun di atas sunnah, engkau tidak akan mendapatkan manfaat. Apabila keempat perkara tersebut telah sempurna, tetapi makanan (yang dimakan) tidak halal, engkau juga tidak akan mendapatkan manfaat.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/142) 3. Tidak menggunakan alat-alat makan dan minum yang terbuat dari emas ataupun perak Hudzaifah ibnul Yaman zmengatakan bahwa Rasulullah n bersabda, وَلَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ “Jangan kalian meminum minuman yang berada dalam bejana emas ataupun perak, dan jangan kalian memakan makanan yang ada pada piring-piring dari keduanya, karena bejana tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat.” (Muttafaqun alaih) Al-Imam ash-Shan’ani t berkata, “Hadits ini menunjukkan haramnya makan dan minum dengan menggunakan bejana dan piring dari emas dan perak, sama saja apakah terbuat dari emas murni atau dicampur dengan perak karena termasuk bejana dari emas atau perak. (Subulus Salam, 1/44) Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam t berkata, “Tidak ada bejana yang diharamkan (untuk digunakan) selain bejana yang diharamkan oleh Allah l dan Rasul n, yaitu bejana yang terbuat dari emas dan perak.” (Taudhihul Ahkam, 1/152) 4. Tidak mencuci tangan atau berwudhu sebelum makan atau minum selain karena bersuci dari najis atau membersihkan kotoran Dari Anas bin Malik z berkata, “Aku, Ubai bin Ka’ab, dan Abu Thalhah, duduk-duduk kemudian kami memakan daging dan roti. Setelah selesai, aku meminta air untuk berwudhu. Keduanya bertanya kepadaku, ‘Kenapa kamu berwudhu?’ Aku jawab, ‘Karena makanan yang sudah kita makan ini.’ Keduanya berkata. ‘Apakah kamu akan bewudhu karena makanan yang bagus ini? Orang yang lebih mulia darimu (Rasulullah n) tidak berwudhu karenanya’.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad) Adapun hadits Salman z berkata, “Aku membaca di dalam kitab at-Taurat bahwa berkah makanan itu hilang dengan berwudhu sebelumnya. Kemudian aku ceritakan kepada Nabi n dan beliau bersabda, بَرَكَةُ الطَّعَامِ الْوُضُوْءُ قَبْلَهُ وَبَعْدَهُ “Berkah makanan itu akan didapatkan dengan berwudhu sebelum dan sesudahnya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi) Hadits di atas adalah hadits yang dhaif, dinyatakan demikian oleh Abu Dawud sendiri dan al-Albani dalam Dhaif Sunnah Abi Dawud. 5. Membaca basmalah sebelum makan, menggunakan tangan kanan dan memulai dari yang dekat Umar bin Abi Salamah z berkata, Rasulullah n bersabda, سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ “Bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, kemudian makanlah dari yang paling dekat denganmu.” (Muttafaqun alaih) Di dalam hadits yang mulia ini terdapat tiga adab makan. a. Membaca basmalah Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata, “Membaca basmalah sebelum makan hukumnya wajib. Apabila seseorang meninggalkannya dengan sengaja, dia berdosa dan setan akan ikut makan bersamanya. Tentu tidak ada seorang muslim yang rela setan—musuhnya—bersekutu dengannya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/400) Rasulullah n bersabda, “Apabila seseorang masuk rumahnya kemudian menyebut nama Allah tatkala masuk dan makan, maka setan akan berkata kepada teman-temannya, ‘Malam ini kalian tidak mendapat tempat bermalam dan makan.’ Namun, apabila dia masuk rumah kemudian tidak menyebut nama Allah l tatkala masuk, maka setan akan berkata, ‘Kalian akan mendapatkan tempat bermalam.’ Apabila dia tidak menyebut nama Allah l tatkala mau makan, maka setan akan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam’.” (HR. Muslim) Jika seorang hamba lupa membaca bismillah sebelum makan dan minum, kemudian dia ingat di tengah-tengah makan, Rasulullah n memerintahkan untuk membaca, بِسْم ِاللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ “Dengan nama Allah di awal dan di akhirnya.” (HR. Abu Dawud & at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’) b. Makan dengan tangan kanan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Makan dengan tangan kanan hukumnya wajib. Barang siapa yang makan dengan tangan kirinya, berarti dia mendurhakai Rasul n. Barang siapa yang mendurhakai Rasulullah n, maka sungguh dia telah mendurhakai Allah l.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/400) Makan dan minum dengan tangan kiri menyerupai setan yang dilaknat dan orang-orang kafir yang tidak beradab.Rasulullah n bersabda, لاَ يَأْكُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِشِمَالِهِ وَلاَ يَشْرَبَنَّ بِهَا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِهَا “Janganlah salah seorang di antara kalian makan dan minum dengan tangan kirinya, karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar c) c. Memulai dari yang terdekat Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Apabila kamu makan bersama-sama, makanlah yang ada di hadapanmu, jangan yang di hadapan orang lain, karena cara demikian ini adalah adab yang jelek. Para ulama berkata, ‘Lain halnya apabila makanan yang dihidangkan itu bermacam-macam, seperti ada labu, terung, daging, dan lainnya, tidak mengapa mengambil jenis yang lain sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah n.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/400—401) Tidak boleh dari tengah-tengah nampan yang dipakai makan berjamaah, sebagaimana bimbingan Rasulullah n, الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ “Berkah itu akan turun di bagian tengah makanan, makanlah dari arah pinggir-pinggirnya dan jangan makan dari tengahnya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas c) 6. Dengan duduk dan berjamaah Dari Anas bin Malik z berkata, رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n جَالِسًا مُقْعِيًّا يَأْكُلُ تَمْرًا “Aku melihat Rasulullah n dalam keadaan duduk bersimpuh dengan menegakkan dua telapak kaki sambil memakan kurma.” Dari Abdullah bin Bisyr z, Nabi n memiliki sebuah nampan yang besar dan dinamai al-Gharra’ yang mampu dipikul oleh empat orang. Setelah mereka masuk waktu pagi dan shalat dhuha, didatangkan nampan tersebut. Setelah roti dipotong dan dimasukkan ke dalam kuah, para sahabat berkumpul mengelilinginya. Tatkala jumlah mereka banyak, Rasulullah n duduk bersimpuh di atas kedua telapak kakinya sehingga seorang Badui bertanya, “Duduk macam apa ini?” Beliau n menjawab, “Sesungguhnya Allah l menjadikanku seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikanku orang yang jahat dan sombong.” (HR. Abu Dawud dan asy-Syaikh Muqbil menyebutkannya di dalam ash-Shahihul Musnad) Dengan duduk dan berjamaah, niscaya akan menambah berkah sebagaimana nasihat Rasulullah n tatkala mereka mengadukan kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak kunjung kenyang.” Rasulullah n bertanya, “Barangkali kalian makan sendiri-sendiri?” Mereka menjawab, “Benar.” Beliau n mengarahkan, “Berkumpullah kalian ketika makan, sebutlah nama Allah, niscaya kalian akan diberi berkah.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani di Shahih Sunan Abu Dawud) Tatkala duduk juga tidak bersandar, karena Rasulullah n bersabda, لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا “Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR. al-Bukhari dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdullah z) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan, “Maksudnya, tidak termasuk petunjukku (Rasulullah n) makan dalam keadaan bersandar, karena dua sebab. Pertama, sebab maknawi yaitu kesombongan. Kedua, sebab yang bersifat fisik, yaitu berkaitan dengan badan berupa bahaya yang ditimbulkan karena makan dengan bersandar. Sebab, jalan makanan akan miring (disebabkan bersandar) atau tidak lurus sebagaimana mestinya sehingga bisa jadi timbul hal-hal yang membahayakan pada usus atau lambung.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/414) 7. Tidak mencela makanan dan minuman, disunnahkan untuk memujinya Dari Abu Hurairah z berkata, مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ n طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ “Rasulullah n tidak pernah mencela makanan. Apabila ingin, beliau makan. Apabila tidak suka, beliau tinggalkan.” (Muttafaqun alaih) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Adab yang baik bagi setiap orang muslim apabila disuguhkan/dihidangkan kepadanya makanan, hendaknya dia menghargai nikmat Allah l tersebut, bersyukur kepada-Nya, dan tidak mencelanya. Apabila dia nafsu dan ingin makan, maka hendaknya dia makan dan kalau tidak suka, tidak usah dia makan, tidak boleh mencela dan mencacinya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/405) Dari Jabir z bahwa Nabi n bertanya kepada keluarganya tentang lauk makan. Mereka menjawab, “Kita tidak mempunyai lauk selain khall.” Beliau n memintanya kemudian makan sambil berkata, “Sebaik-baik lauk adalah khall, sebaik-baik lauk adalah khall.” (HR. Muslim) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Al-Khall adalah masakan yang terbuat dari air kuah yang dicampur dengan kurma sehingga manis rasanya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/405) 8. Apabila makan dengan tangan, makanlah dengan tiga jari, kemudian menjilati jari-jari itu dan membersihkan yang di piring dengan jari lalu menjilatnya Ka’b bin Malik z berkata, رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ فَإِذَا فَرَغَ لَعِقَهَا “Aku melihat Rasulullah n sedang makan dengan tiga jari, setelah selesai beliau menjilatinya.” (HR. Muslim) Di dalam hadits Jabir z, Rasulullah n memerintahkan untuk menjilati jari-jari dan piring atau nampan (selesai makan) denga cara di atas. Beliau n bersabda, “Karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian mana yang beberkah.” (HR. Muslim) Bahkan, Rasulullah n melarang mencuci atau mengusap jari-jari tersebut dengan tisu/air sebelum menjilatinya. Beliau n bersabda, وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ “Jangan membersihkan tangan dengan sapu tangan atau tisu sampai dia menjilatinya, karena dia tidak tahu di bagian mana makanannya yang beberkah.” (HR. Muslim dari Jabir z) 9. Tidak berlebih-lebihan dalam hal makan dan minum Rasulullah n bersabda, مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ أَكَلَاتٌ يَقُمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ “Tidaklah anak Adam memenuhi sebuah wadah yang lebih buruk daripada lambungnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan yang akan menegakkan punggungnya. Apabila harus lebih dari itu, sepertiga lambung untuk makanannya , sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk napas.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Karimah z) Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Apabila perutnya penuh dengan makanan, sesungguhnya hal itu akan membahayakan agama dan kesehatannya (agama karena menghalanginya dari ketaatan untuk beribadah; kesehatan karena akan menjadikannya sering mengantuk dan memengaruhi jiwanya sehingga malas untuk bekerja dan berpikir).” Demikian pula para dokter mengatakan bahwa kekenyangan akan menimbulkan berbagai macam penyakit. (Tashlihul Ilmam, 6/224) Setelah membaca hadits ini berkata dr. Ibnu Abi Masaweh, “Kalau saja orang-orang mengamalkan hadits ini, sungguh mereka akan selamat dari berbagai macam penyakit dan apotek-apotek akan bangkrut.” (Taudhihul Ahkam, 7/378) 10. Mengambil makanan yang jatuh dan membersihkannya kemudian dimakan Dari Anas bin Malik z, Rasulullah n bersabda, إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا وَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ “Apabila sepotong makanan jatuh dari salah seorang di antara kalian, hendaknya dia ambil dan dia bersihkan dari kotoran lalu dia makan dan tidak membiarkannya untuk setan.” Dengan kedua adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah n, seorang muslim jauh dari tabdzir (pemborosan) yang dibenci dan dimurkai oleh Allah l. Allah l berfirman, “Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al-Isra: 27) Rasulullah n bersabda, وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ “(Sesungguhnya Allah) membenci (perbuatan kalian) yang memberitakan berita yang tidak jelas kebenaran dan manfaatnya, banyak bertanya, serta membuang-buang harta.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Mughirah bin Syu’bah z) 11. Tidak bernapas /meniup dalam bejana, cangkir, atau gelas tatkala minum Nabi n melarang seseorang bernapas di dalam bejana ketika minum. (HR. Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Qatadah z) Adapun hadits Anas bin Malik z, أَنَّ رَسُولَ اللهِ n كَانَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلَاثًا “Rasulullah n biasa bernapas tiga kali ketika minum.” (Muttafaqun alaih) Maksudnya, kata al-Imam Nawawi t, “Bernapas di luar bejana tatkala minum.” (Riyadhus Shalihin) Di antara hikmahnya adalah bernapas di dalam bejana akan menimbulkan rasa jijik/tidak suka bagi orang yang akan minum setelahnya. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/819) 12. Jika minum bergantian, dahulukan yang sebelah kanan Dari Anas bin Malik z, أَنَّ رَسُولَ اللهِ n أُتِيَ بِلَبَنٍ قَدْ شِيبَ بِمَاءٍ وَعَنْ يَمِينِهِ أَعْرَابِيٌّ وَعَنْ يَسَارِهِ أَبُو بَكْرٍ فَشَرِبَ ثُمَّ أَعْطَى الْأَعْرَابِيَّ وَقَالَ: الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ Rasulullah n diberi (hadiah) susu yang sudah dicampur dengan air dalam keadaan sebelah kanan beliau ada seorang Arab badui dan sebelah kiri beliau ada Abu Bakr z. Beliau n meminumnya kemudian memberikannya kepada si badui sambil berkata, “Sebelah kanan, kemudian sebelah kanannya.” Jika ingin memberikan kepada orang yang berada di sebelah kirinya, mintalah izin terlebih dahulu kepada orang yang ada di sebelah kanannya, karena dia lebih berhak. Hal ini sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d z bahwa Rasulullah n diberi (hadiah) sebuah minuman, beliau n minum sebagian darinya dalam keadaan sebelah kanannya ada seorang anak laki-laki dan sebelah kirinya ada orang yang sudah tua. Beliau n berkata kepada anak laki-laki itu, “Apakah kamu memperbolehkanku memberikan ini kepada mereka?” Anak itu menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberikan bagianku darimu kepada seorang pun.” Beliau n pun meletakkan bejana itu di tangan anak tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi) 13. Apabila makanan telah dihidangkan dan waktu shalat telah tiba, dahulukan makan kemudian shalat Aisyah x berkata, Rasulullah n bersabda, لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ “Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan dan rasa buang air besar serta buang air kecil telah mendorongnya.” (HR. Muslim) Dalam hadits Aisyah x, Rasulullah n bersabda, “Apabila telah ditegakkan shalat (maghrib) padahal makan malam telah dihidangkan, maka dahulukan makan malam.” (Muttafaqun ‘alaihi) 14. Berdoa setelah makan Mu’adz bin Anas meriwayatkan dari ayahnya (yakni Anas z), Rasulullah n bersabda, مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barang siapa yang selesai makan kemudian berdoa, ‘Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan makanan ini kepadaku dan memberi rezeki kepadaku pula tanpa daya dan upaya dari diriku’, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah) Apabila diundang makan, padahal dia berpuasa dan tidak ingin membatalkan puasa sunnahnya, hendaknya dia mendoakan kebaikan bagi si pengundang sebagaimana sabda Rasulullah n, إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ “Apabila salah seorang di antara kalian diundang (makan), maka hendaknya memenuhi undangannya. Apabila dia berpuasa, hendaknya dia mendoakan kebaikan (untuk pengundang). Apabila tidak, hendaknya dia makan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z) Hadits Anas bin Malik z menyebutkan bahwa Rasulullah n mendatangi Sa’d bin Ubadah. Sa’d kemudian membawa roti dan minyak. Rasulullah n bersabda, أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ “Orang-orang yang berpuasa telah berbuka di samping kalian, orang-orang yang baik telah makan makanan kalian, dan mudah-mudahan para malaikat bershalawat (mendoakan) kalian.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh al-Albani) Sebagai wujud rasa syukur kita karena Allah l berterima kasihlah kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita sebagaimana Rasulullah n bersabda, لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ “Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah z. Dalam ash-Shahihul Musnad, asy-Syaikh Muqbil t berkata, “[Ini] hadits yang sahih menurut syarat Muslim.”) Mudah-mudahan Allah l senantiasa mengaruniakan hidayah dan taufik kepada kita semuanya untuk mencintai sunnah Rasulullah n dalam ilmu dan amal, baik lahir maupun batin; sehingga kita tergolong hamba-hamba-Nya yang berhasil mendapatkan keutamaan-keutamaan yang dijanjikan oleh Rabbuna k. Amin.