Kami merintis jual busana muslim dan buku sejak tahun 1996, Dulu pada kurun waktu tersebut masih jarang toko yang menjual sekaligus tempat kullakan,Diantaranya dipengarui masih sedikitnya orang yang membuat.Maka saat itu kalau ingin beli gamis ,buku bermanhaj salaf melalui waktu lama.Dulu belum ada alat-alat secanggih zaman sekarang,yang menjadi alat pesanan saat itu adalah surat pos dan telegram.
Rabu, 31 Oktober 2012
SEPENINGGAL RASULULLAH
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Sikap Ali z Terhadap Kekhalifahan ash-Shiddiq z
Sebagian orang bersandar pada beberapa riwayat tentang keterlambatan Ali membai’at Abu Bakr bahwa Ali tidak senang akan kekhalifahan ash-Shiddiq z. Mereka menyatakan bahwa bai’at yang dilakukan Ali hanya satu kali, yaitu sesudah Fathimah x wafat.
Sebetulnya, tidaklah demikian, karena Ali berbai’at kepada Abu Bakr dua kali. Yang pertama ketika kaum muslimin membai’at Abu Bakr di Saqifah (gubug)Bani Sa’idah, yang kedua adalah sesudah wafatnya Fathimah bintu Rasulullah n.
Inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Katsir t dalam kitab al-Bidayah, setelah terjadinya bai’at yang kedua, banyak orang mengira bahwa Ali belum berbai’at selain hari itu. Padahal, sudah dimaklumi oleh mereka yang memahami kaidah fikih, bahwa yang menetapkan didahulukan dari yang meniadakan. Wallahu a’lam.
Bai’at Ali yang pertama, diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri z, yang mengisahkan sebagai berikut.
Setelah Rasulullah n wafat, beberapa ahli pidato Anshar berbicara, salah seorang dari mereka mengatakan, “Hai kaum Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah n mengangkat petugas dari kalangan kalian, beliau menyertakan pula salah seorang dari kami sebagai pendamping. Oleh karena itu, kami memandang bahwa urusan (kekhalifahan) ini harus ditangani dua orang, satu dari kalian dan satunya dari kami.”
Akhirnya, berturut-turut berdirilah beberapa ahli pidato Anshar mendukung gagasan ini. Kemudian, bangkitlah Zaid bin Tsabit z lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah n berasal dari golongan Muhajirin sehingga imam (pemimpin) harus dari kaum Muhajirin. Adapun kita adalah Anshar (para penolong/pembela) khalifah itu, sebagaimana dahulu kita adalah Anshar Rasulullah n.”
Setelah itu bangkitlah Abu Bakr z, lalu berkata, “Semoga Allah memberi kalian balasan yang baik, wahai golongan Anshar, mengokohkan pembicara kalian. Seandainya kalian tidak berbuat demikian, tentu kami tidak akan berunding dengan kalian.”
Tiba-tiba Zaid bin Tsabit z memegang tangan Abu Bakr dan berkata, “Inilah khalifah kalian. Kalian bai’atlah dia!” Lalu, mereka pun berbai’at.
Setelah Abu Bakr duduk di atas mimbar, dia memerhatikan kaum muslimin, tetapi tidak melihat Ali. Abu Bakr menanyakan di mana Ali. Beberapa orang Anshar segera berdiri dan memanggil Ali ke hadapan Abu Bakr.
Abu Bakr berkata, “Putra paman Rasulullah n dan menantu beliau. Apakah engkau mau memecah belah persatuan kaum muslimin?”
Ali berkata, “Tidak ada celaan, wahai khalifah Rasulullah.” Ali pun berbai’at.
Kemudian Abu Bakr menanyakan di mana Zubair bin ‘Awam z, karena tidak melihatnya di antara kaum muslimin. Setelah Zubair datang, Abu Bakr bertanya, “Putra bibi Rasulullah n, apakah engkau mau memecah belah persatuan kaum muslimin?”
Zubair juga menjawab seperti jawaban Ali, lalu dia pun berbai’at. Menurut al-Hakim, riwayat ini sahih, sesuai dengan syarat Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mencantumkan dalam kitab mereka.
Mengapa Ali perlu memperbarui bai’atnya hingga wafatnya Fathimah?
Hal itu karena Fathimah sangat bersedih atas kepergian ayahandanya, Rasulullah n. Kesedihan itu semakin bertambah berat ketika muncul ganjalan dalam hatinya melihat Abu Bakr bersikukuh dengan hadits yang didengarnya dari Rasulullah n, ayahandanya, bahwa para nabi dan rasul tidak mewariskan harta. Apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah.
Fathimah belum puas dengan jawaban Abu Bakr, dan tetap mendesak. Abu Bakr ash-Shiddiq tetap bertahan, dan dengan lemah lembut menerangkan bahwa harta yang ditinggalkan oleh Rasulullah n tidak berlaku sebagai warisan untuk anak cucu beliau, tetapi sedekah bagi kaum muslimin.
Sejak saat itu, beliau menutup diri dari orang banyak. Kesedihan yang bertumpuk membuat beliau x akhirnya tidak bisa tertawa lagi sampai beliau wafat—enam bulan sesudah Rasulullah n wafat. Keadaan Fathimah x ini menyebabkan Ali tertahan untuk menemui orang banyak, lebih-lebih khalifah Rasulullah n. Ali selalu mendampingi dan menghibur Fathimah.
Melihat kejadian ini, orang-orang yang tidak mengerti, terutama kaum munafikin mulai mengembuskan kabar bohong bahwa Ali tidak pernah keluar karena tidak suka Abu Bakr dibai’at sebagai khalifah. Setelah Ali membai’at Abu Bakr, hilanglah berita itu dan jelaslah bagaimana sikap Ali khususnya, dan ahli bait umumnya.
Sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa ketika Fathimah sakit, Abu Bakr sempat membesuknya dan meminta keridhaannya, lalu Fathimah pun meridhainya.
Apa pun, bagi kita kaum muslimin, kita meyakini bahwa tidak mungkin Fathimah menyimpan kebencian dan dendam terhadap ash-Shiddiq, lelaki yang sangat dicintai oleh ayahandanya, Rasulullah n. Bahkan, seandainya Rasulullah n mengangkat seorang manusia sebagai khalil (kedudukan cinta yang paling tinggi), niscaya beliau akan mengambil Abu Bakr sebagai khalil.
Suatu hari, Fathimah x, pernah diutus oleh istri-istri Rasulullah n yang lain untuk meminta keadilan. Ketika itu, Rasulullah n sedang berada dalam rumah ‘Aisyah, putri ash-Shiddiq c. Setelah menyampaikan keperluannya, Rasulullah n bertanya kepada sang putri yang paling dicintainya itu, “Wahai putriku. Apakah engkau mencintai apa yang Ayah cintai?”
“Tentu,” jawab Fathimah. Lalu beliau x kembali menemui istri-istri Ayahandanya yang lain.1
Fathimah tidak mungkin mendustai Ayahandanya yang sangat dipuja dan dicintainya, bahwa dia mencintai pula apa-apa yang dicintai oleh Ayahandanya. Fathimah tidak mungkin menyelisihi Ayahandanya, apalagi mengingkari beliau n dalam setiap ketetapan dan tindakan beliau. Lebih-lebih lagi, salah satu bukti cinta adalah mencintai apa yang dicintai oleh kekasih yang kita cintai. Oleh sebab itu, tidak mungkin pula Fathimah membenci ‘Aisyah, apalagi ayahnya, ash-Shiddiq z, yang sangat diistimewakan oleh Rasulullah n. Begitu pula Ali bin Abi Thalib dan ahli bait lainnya.
Hanya orang-orang yang kurang akal, baik dari kalangan Syi’ah maupun orientalis, yang bersikukuh dengan kebohongan yang muncul seputar kisah ini. Semoga Allah l tidak memperbanyak mereka.
Melepas Pasukan Usamah z
Sementara itu, pasukan Usamah masih belum berangkat karena wafatnya Rasulullah n. Setelah jasad suci Rasulullah n dikuburkan, Abu Bakr dibai’at sebagai khalifah, beliau kembali menyiapkan pasukan Usamah dan memerintahkan mereka agar segera berangkat.
Para sahabat kembali mengingatkan beliau. Dalam suasana tegang, saat beberapa kabilah di sekitar Madinah mulai murtad dan ingin memberontak, seharusnya pasukan Usamah tetap bertahan di Madinah.
Akan tetapi, sekali ash-Shiddiq selamanya ash-Shiddiq. Beliau pernah menyatakan tidak akan meninggalkan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah n, khawatir kalau dia meninggalkannya, dia pasti binasa. Beliau pun berkata, “Demi Allah, seandainya anjing-anjing kota Madinah menggigiti baju istri-istri Rasulullah n, aku tetap akan melepas pasukan Usamah yang sudah disiapkan oleh Rasulullah n.”
Akhirnya, para sahabat menerimanya. Setelah itu sambil berjalan kaki, Khalifah Rasulullah n keluar ikut mengantar pasukan itu ke gerbang kota Madinah. Kemudian, Abu Bakr meminta kesediaan Usamah sebagai panglima untuk mengizinkan ‘Umar bin al-Khaththab tinggal sebagai teman bermusyawarah. Usamah mengabulkan permintaan Khalifah.
Berangkatlah pasukan Usamah menuju daerah tempat ayahandanya, Zaid bin Haritsah z, terbunuh. Sesampainya di sana, tidak terjadi pertempuran berarti. Akhirnya pasukan itu kembali dengan aman.
Beberapa kabilah ‘Arab yang ingin menyerang Madinah segera mengurungkan niatnya ketika mendengar keberangkatan pasukan Usamah. Kalau kaum muslimin mampu mengirim pasukan, berarti di dalam kota masih ada pasukan lain yang berjaga-jaga. Itulah dugaan mereka.
Demikianlah pertolongan Allah l kepada kaum muslimin.
Setelah Rasulullah n wafat, orang-orang munafik mulai berani menampakkan jati diri. Beberapa kabilah ‘Arab juga sudah ada yang murtad. Orang-orang Yahudi dan Nasrani juga diam-diam mengintai kelemahan kaum muslimin. Akhirnya, kaum muslimin bagai anak ayam kehilangan induk hingga Allah l menyatukan mereka di bawah kepemimpinan Abu Bakr z.
Musailamah al-Kadzdzab (Si Pendusta)
Belum berbilang hari sejak Rasulullah n wafat, kaum muslimin mulai dihadapkan pada berbagai cobaan. Bahkan, belum lagi Rasulullah n wafat, sudah mulai muncul fitnah.
Suatu ketika, datang dua utusan Musailamah menemui Rasulullah n dan menyerahkan surat dari Musailamah. Rasulullah n bertanya kepada keduanya, “Apakah kamu berdua mengakui bahwa saya adalah Rasul Allah?”
“Kami mengakui bahwa Musailamah adalah utusan Allah,” jawab mereka.
Rasulullah n berkata, “Demi Allah, seandainya bukan karena larangan membunuh utusan, niscaya saya penggal leher kamu berdua.”
Isi surat Musailamah itu berbunyi:
Bismillahirrahmanirrahim, dari Musailamah utusan Allah, kepada Muhammad (n) utusan Allah. Sesungguhnya aku diberi kedudukan yang sama denganmu, jadi dunia ini separuh untuk kami dan separuh untuk Quraisy, tetapi orang-orang Quraisy melampaui batas.
Rasulullah n membalas surat itu.
Bismillahirrahmanirrahim. Keselamatan atas mereka yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du, bumi ini milik Allah l, Dia mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.2
Ketika Musailamah datang bersama Bani Hanifah, Rasulullah n pernah berkata kepadanya, “Engkaulah yang kulihat dalam mimpi. Tsabit yang akan menjawab keperluanmu.”
Kemudian beliau n meninggalkannya.
Ibnu ‘Abbas c, bertanya-tanya apa maksud ucapan Rasulullah n, ‘Engkaulah yang kulihat dalam mimpi’?
Abu Hurairah z menerangkan kepadanya bahwa Rasulullah n pernah bermimpi melihat di tangannya ada dua buah gelang emas, lalu beliau meniup kedua gelang itu hingga lenyap. Kemudian beliau menakwilkannya, yang satu adalah pendusta dari Yamamah, sedangkan yang satunya adalah pendusta dari Shan’a.3
Seperti telah diuraikan bahwa Musailamah sudah berani mengaku-aku sebagai nabi, sejak Rasulullah n masih hidup.
Sebelum ‘Amr bin al-‘Ash masuk Islam, dia pernah bertemu dengan Musailamah al-Kadzdzab. Musailamah bertanya kepadanya, “Apa yang sudah turun kepada orang ini (Muhammad n)?”
“Turun kepadanya satu surat pendek yang sangat indah bahasanya,” kata ‘Amr.
Musailamah meminta ‘Amr menyebutkannya. ‘Amr yang ketika itu belum masuk Islam membacakan surat al-‘Ashr sampai selesai.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)
Setelah ‘Amr membacakannya, Musailamah berpikir sejenak, lalu berkata, “Diturunkan juga kepadaku yang serupa itu.”
“Apakah itu?” kata ‘Amr.
Kemudian Musailamah mengucapkan,
يَا وَبْرُ يَا وَبْرُ إِنَّمَا أَنْتَ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ وَسَائِرُكَ حَفْرٌ نَقْرٌ
“Wahai marmut, wahai marmut. Engkau hanyalah dua daun telinga dan dada. Adapun selebihnya adalah hina dan berpenyakit.”
Lalu dia melanjutkan, “Bagaimana menurutmu, hai ‘Amr?”
Dengan tegas ‘Amr menyatakan di hadapan Musailamah, “Demi Allah, sungguh engkau sudah tahu bahwa aku tahu kalau engkau dusta.”
Bahkan, salah seorang pengikut Musailamah sendiri, Thalhah an-Namari, berkata kepada Musailamah, “Saya bersaksi bahwa engkau dusta, sedangkan Muhammad (n) adalah orang yang jujur. Tetapi, pendusta dari suku Rabi’ah (kabilah Musailamah) lebih aku sukai daripada orang jujur dari Mudhar (kabilah Rasulullah n).”
Menumpas Orang-Orang Murtad
Sepeninggal Rasulullah n, beberapa kabilah Arab mulai enggan menunaikan zakatnya. Kata mereka, “Kalau Muhammad (n) itu seorang nabi, tentu dia tidak akan mati.”
Orang-orang yang cerdik pandai di antara mereka berusaha menasihati dan mengingatkan, “Coba terangkan tentang nabi-nabi yang dahulu. Apakah kamu mengakui nubuwah mereka?”
“Ya,” kata orang-orang yang murtad itu.
Orang-orang yang cerdik pandai itu bertanya lagi, “Apakah mereka mati?”
“Ya,” kata orang-orang yang murtad itu lagi.
“Lantas, apa yang kalian ingkari dari nubuwah Muhammad (n)?”
Ternyata, nasihat dan peringatan itu sia-sia, mereka tetap dalam kemurtadan. Akhirnya, Abu Bakr z menyiapkan pasukan untuk memerangi masing-masing kabilah yang murtad; satu kabilah diserang oleh sepasukan tentara kaum muslimin. Padahal, saat itu, kaum muslimin sedang memusatkan diri pada pengiriman pasukan Usamah yang sudah dilepas oleh Rasulullah n sebelum wafat.
Mulanya, para sahabat mempertanyakan apa alasan Abu Bakr memerangi mereka yang murtad atau yang tidak mau menunaikan zakat itu. Abu Bakr menjelaskan bahwa zakat adalah hak harta yang harus ditunaikan. Seandainya mereka tidak mau memberikan seutas tali yang dahulu pernah mereka tunaikan kepada Rasulullah n, Abu Bakr tetap akan memerangi mereka. Akhirnya, para sahabat menerima alasan Abu Bakr z.
(insya Allah bersambung)
Catatan Kaki:
1 HR. al-Bukhari no. 2581 dan Muslim no. 2442.
2 Kejadian ini di akhir tahun kesepuluh hijriyah, menurut Ibnu Ishaq. Wallahu a’lam.
3 HR. al-Bukhari no. 4373 dan Muslim no. 227
Di Salin dari majalah asy syari'ah Edisi 077
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar