ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim)
Pengetahuan tentang najis sangat penting bagi seorang muslim
karena berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena
ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap
najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis
oleh syariat.
Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari
dan harus diperhatikan keberadaannya, khususnya oleh seorang muslim
karena berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah I. Contoh yang paling
mudah, ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan
kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.
Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum
mengetahui dengan benar masalah najis ini –walaupun sebenarnya
permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi
pengertian maupun penjelasan macam-macamnya secara rinci–. Terkadang
sesuatu yang najis disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Di waktu
lain, sesuatu yang sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena
disangka najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati
dalam kehidupan kaum muslimin.
Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci
tentang najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah
kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan
apabila mengenai sesuatu. Di antara macam-macam najis tersebut ada yang
disepakati para ulama bahwa perkara itu adalah najis, dan ada pula yang
diperselisihkan tentang kenajisannya, apakah hal itu termasuk sesuatu
yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin Allah I, kita akan
mengupasnya satu per satu.
Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati
oleh para ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu
yang kami miliki.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan
dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri z. Beliau menceritakan
bahwasanya Rasulullah r pernah shalat bersama para shahabatnya dalam
keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan
meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para
shahabat. Selesai shalat, beliau r mempertanyakan perbuatan para
shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan melepas sandal yaitu
dikarenakan Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau r ada kotoran, dan
beliau bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia
membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi)
padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.”
(HR. Al-Imam Ahmad dan berkata Asy-Syaikh Muqbil t tentang hadits ini
dalam karya beliau Al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish Shahihain juz 1,
hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya) adalah
rijal Shahih Al-Bukhari)
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas c
yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh
Rasulullah r:
“Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari
kencingnya.” (HR. Al-Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no.
292)
Masalah najisnya kotoran dan kencing manusia ini –banyak ataupun
sedikit– disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing
beliau berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak
memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia
–baik banyak ataupun sedikit– adalah najis, dengan dalil yang jelas dan
terang, serta merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Al-Imam
An-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim. Sedangkan apa yang berasal dari
Abu Hanifah adalah pendapat yang tertolak.
Lain halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan
belum makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah
mengunyah sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian
dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir)
dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu
bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.
Walaupun dalam hal ini ada perselisihan ulama, pendapat yang kuat
menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum
makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Al-Imam
An-Nawawi t dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil
keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti
dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari (no. 223) dan Al-Imam Muslim (no. 287):
“Ummu Qais bintu Mihshan Al-Asadiyyah membawa anaknya yang masih
kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah r, lalu Rasulullah
mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju
beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya
(hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya.
(Dalam lafadz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing
tersebut)”
Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan
dengan mengguyurkan air pada tempat yang terkena sesuai dengan apa yang
bisa kita lihat pada hadits di atas.
Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, masih diperselisihkan
kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan
–baik yang dimakan dagingnya maupun tidak– adalah najis, sebagaimana
pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang
najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara
pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu
bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran
hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah
dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan
Al-Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhil Muhadzdzab bahwa ini adalah
perkataan Dawud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Asy-Sya’bi.
Pendapat ini juga didukung oleh Al-Imam Asy-Syaukani di dalam
kitab-kitab beliau, di antaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada
wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya.
Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka
itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka
tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti
kita ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan ada
riwayat dari Anas bin Malik z yang menerangkan bahwa Rasulullah r
memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam
Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671)
dan lainnya:
“Sekelompok orang dari Bani ‘Akl (Bani ‘Urainah) datang menemui
Nabi. Namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit
yang menimpa mereka. Rasulullah r pun memerintahkan agar didatangkan
seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air
kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah
sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi r dan meminum susu ternak
itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga
Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang
harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan
agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan
ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun
tidak diberi minum.”
2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih
encer dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar
ketika seseorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya
(jima’) atau di luar jima’.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan
Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’. Dalil lain yang menunjukkan najisnya
madzi adalah hadits yang dikeluarkan Al-Imam Al-Bukhari (hadits no. 269)
dan Al-Imam Muslim (hadits no. 303) rahimahumullah dari hadits ‘Ali z
ketika ‘Ali menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, untuk
menanyakan tentang madzi ini kepada Rasulullah r. Beliau menjawab:
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.”
Ibnu Daqiqil ‘Id t mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari hadits ini
diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah r memerintahkan
untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun
wanita, namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti
yang dikatakan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Muslim.
3. Wadiy
Wadiy adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan
setelah buang air besar. Hukum wadiy sama dengan madzi atau kencing,
yaitu najis. Bahkan Al-Imam An-Nawawi t di dalam kitab Al-Majmu’
menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadiy itu najis. Beliau mengatakan,
“Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadiy.”
4. Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang umum dijumpai kaum wanita.
Namun masih ada dari mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan
nifas termasuk najis atau bukan, sementara hal ini sangat penting bagi
mereka.
Telah ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’
bintu Abi Bakr x. Beliau menceritakan:
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah r. Ia berkata, “Ya
Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada
pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah r bersabda,
“Apabila darah haidh mengenai pakaian salah seorang dari kalian,
hendaknya dia mengerik lalu membasuhnya. Kemudian ia shalat memakai
pakaian tersebut.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 330, 331 dan
Muslim no. 110)
Al-Imam Ash-Shan‘ani t di dalam Subulus Salam -setelah membawakan hadits
di atas-: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah
haid.”
Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan
nash yang ada ini dan Al-Imam An-Nawawi menukilkan adanya ijma‘ dalam
hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haidh.
5. Bangkai
Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya
sebagaimana dinyatakan Al-Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga
Al-Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’.
Rasulullah r bersabda:
“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR.
Muslim no. 105)
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai)
itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu.
Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih
utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi r:
“Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari no. 283 dan
Muslim no. 371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah I:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari
hasil laut…” (Al-Maidah: 96)
Al-Imam Ath-Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas c tafsir dari ayat di
atas, yakni yang dimaksud dengan () adalah binatang laut itu diambil
dalam keadaan hidup dan () adalah binatang itu diambil dalam keadaan
mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah r bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Shahih, HR. Ashabus
Sunan dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau
Ash-Shahihah, 1/480)
3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir
ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang,
kalajengking dan lainnya. Berdalil dengan hadits:
“Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka
hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 3320)
Al-Imam Ash-Shan‘ani t berkata: “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila
jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya
dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut
niscaya makanan tersebut rusak. Sedangkan Nabi r memerintahkan untuk
memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya.” (Subulus Salam)
Ketiga poin di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang
kenajisannya, namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya
bukanlah najis, wallahu a‘lam bish-shawab.
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam
agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat (benda-benda
yang najis) agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang
dapat merusak ibadahnya kepada Allah I.
Wallahu a’lam.
Sumber :Majalah Asy Syariah Edisi 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar